Saturday, December 15, 2018

Saat Tesis Membuat Frustasi

Sejak kecil kita sudah dibiasakan bersemangat merajut cita-cita, bahkan katanya cita-cita itu harus diukir setinggi langit. Katanya juga, cita-cita itu harus tinggi, harus ideal, agar setiap kita memiliki motivasi untuk menggapainya.

Namun, hal yang dari dulu jarang diajarkan adalah bagaimana ketika cita-cita itu tidak berjalan sesuai rencana dan keinginan.

Padahal nyatanya, jalan hidup itu sungguh berliku. Ada cita yang terwujud mudah dan lancar seperti melewati jalan tol, tetapi yang sering terjadi adalah cita yang menemukan jalan berliku, melewati bebatuan, dan bahkan bisa-bisa membuat seseorang frustasi.

Well, soal Tesis. Tentunya kata ini hanya familiar bagi mereka yang sedang menjalani studi magister, terlebih yang sedang berada di semester akhir perkuliahan. Biasanya yang membuat lambat seorang magister tidak lulus-lulus itu bukan nilainya yang jelek, tetapi karena Tesisnya yang gak kelar-kelar.
Kamu salah satunya? Baiklah, tenangkan pikiranmu, karena yang bernasib demikian bukan hanya kamu, ada ratusan bahkan jutaan orang yang mengalami hal serupa. Berbesar hatilah, dan beberapa tips berikut semoga menjadi penyemangatmu.

Tesis bukan segalanya, 

tapi menjadi bagian dari tanggung jawab
Banyak mahasiswa frustasi karena tesisnya tak kunjung selesai. Bahkan ada yang memilih cuti dan tidak melanjutkan kuliahnya . Jika kamu termasuk yang berpikir demikian, sebaiknya pertimbangkan kembali waktu yang sudah dihabiskan untuk memulai studi S2, apa gak sayang ditinggal cuti? kan sebentar lagi selesai!!!. Apalagi alasan cutinya karena sudah bosan, sudah lelah, dan merasa tidak punya harapan lagi pada Tesis yang belum juga selesai itu. Pikirkan lagi. Jika tidak ada alasan kuat untukmu memilih cuti atau berhenti, maju terus dan tetap optimis. Tesis akan selesai pada waktunya.

Finansial Sudah Tidak Memadai
Keuangan yang semakin menipis kadang menjadi faktor yang menyurutkan langkah . Tapi kondisi kritis ini tidak akan menggoyahkan mereka yang punya tekad kuat menyelesaikan tanggungjawab. Banyak jalan menuju roma, banyak juga sumber keuangan untuk hidup, jika kita mau mencarinya.  Tips untuk  menyelesaikan masalah ini adalah  temukan sumber dana dari lembagapemberi beasiswa, atau yang lebih menantang lagi adalah memulai kerja freelance, memberdayakan keterampilan yang kamu miliki.

Tetap Jaga Keseimbangan Hidup

Tesis memang harus diperhatikan, tapi kesehatan jiwa dan ragamua lebih penting. Lembur hingga larut malam memang baik agar progress tesismu menunjukkan hasil maksimal dalam waktu yang lebih cepat. Tapi pola hidup yang tidak teratur justru akan menciptakan kondisi yang tidak sehat. Tetap jaga pola makan dan pola tidur. Kedua hal ini justru dapat memaksimalkan kekuatan berpikirmu untuk mengerjakan tesis meski dengan waktu yang lebih sedikit.

Mengatasi Kendala Tak Terduga  
Jika salah satu faktor yang membuat tesismu terhenti adalah faktor eksternal diluar kendalimu, upaya ekstra perlu kamu lakukan. Pahami dengan jelas masalahmu, sharing dengan teman seperjuanganmu. Beberapa faktor diluar kendali misalnya; dapat pembimbing yang perfeksionis dan memasang standar tinggi bagi mahasiswanya, dapat pemmbimbing yang sibuk karena beliau sering ke luar kota, dapat pembimbing yang baperan dan perlu dibawakan sesajen (bukan arti sebenarnya) setiap kali bimbingan, dan hal-hal lain yang sulit untuk kamu kendalikan. Solusinya, perbanyak doa dan tetap maksimalkan usaha, jangan sampai menjual integritasmu.

Tesis adalah bagian dari tanggungjawab hidup, hanya butuh usaha konsisten dan tekad kuat untuk tidak menyerah.

Ada pepatah, hidup itu ibarat kita mengayuh sepeda. Selama masih mengayuh, artinya kita akan tetap maju. Jalannya bisa saja lurus, namun tak jarang berliku, kita hanya butuh keseimbangan untuk terus bertahan.
Share:
Continue Reading →

Saturday, December 8, 2018

Edisi Jumatku Menulis: Menengok Kembali Wanita-Wanita Ahli Syurga

Beberapa edisi lalu saya pernah menulis tentang Ibunda Khadijah radiallahu anha, wanita yang seharusnya menjadi role model untuk diteladani muslimah zaman now. Pekan ini juga saya membaca tentang kisah Asiyah yang dijuluki Sang Mawar dari Gurun Fir’aun, keteladanan beliau menghadapi kesombongan Fir’aun adalah kisah yang sudah tersebar diseantero dunia. Lalu, pagi ini saya sekilas mendengar kisah Ummu Umarah dari sepenggal video salah satu ustad kondang Indonesia. Lalu yang terlintas dalam benak ini adalah; posisi muslimah saat ini ada dimana?

Tantangan wanita muslimah dizaman Rasulullah adalah tantangan yang jelas terlihat dan menjadi musuh bersama kaum muslimin. Jika telah sampai waktunya maka perang adalah pilihan terakhir yang dilakukan ummat saat itu. Musuhnya jelas, kaum kafir. Perjuangannya jelas, melalui perang. Maka salah satu komitmen wanita muslimah saat itu adalah maju ke medan perang seperti halnya yang di lakukan Ummu Umarah. Beliau dijuluki perisai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena kegigihannya melindungi Rasulullah dari sayatan pedang musuh.

Musuh kaum muslimin yang dihadapi saat ini sangat beragam, terjadi pada saat yang bersamaan. Perang bergejolak diberbagai tempat, kristenisasi terjadi dalam cara-cara terselubung, dan yang paling berbahaya adalah perang pemikiran yang tanpa disadari masuk ke relung-relung pemikiran muslimah zaman now. Ya, perang pemikiran dengan cara yang sangat halus, merasuk melalui saluran-saluran media. Muslimah disibukkan dengan urusan material mempercantik diri tanpa mengasah akal dengan ilmu. Muslimah disibukkan diri dengan menikmati sajian atau tayangan membahagiakan namun melalaikan waktu untuk berbuat kebaikan. Muslimah disibukkan mengejar bertambahnya harta namun melalaikan ketahanan keluarga.

Ya, muslimah zaman now, tantangannya banyak, terjadi dalam berbagai cara, melalui cara terselubung yang tidak disadari.

Lalu, posisi kita saat ini dimana? Sudahkah kita membekali diri dan keluarga untuk tetap istiqomah berada dijalan menuju Ridho Allah subhanahu wata’ala semata tanpa tergiur dengan materi yang semu? Sudahkah kita sibuk memantaskan diri untuk berada di sisi Rabb kita daripada sibuk memantaskan diri untuk pujian manusia?

Jika belum, masih ada waktu, karena tak ada kata terlambat untuk mendekat pada Dzat yang mencipta. Kita maunya masuk surga kan? 
Share:
Continue Reading →

Thursday, November 15, 2018

Memenangkan hati

“Orang tua selalu menginginkan anaknya bahagia”. Begitulah salah satu kalimat ibu ketika kami berbincang melalui telepon beberapa hari lalu. Diam-diam nafas ini seperti berhenti, lalu hening seketika dalam beberapa saat. Saya dan ibu memang tak pandai mengungkap rasa dengan kata, tapi hati kami terpaut melalui doa-doa yang selalu diijabah Ilahi. Berupa permohonan kesehatan masing-masing, kesempatan untuk hidup, dan Insya Allah doa untuk  bertemu di Surga-Nya kelak. Lima belas tahun hidup di bawah atap yang sama dan hampir lima belas tahun juga hidup diperantauan adalah waktu yang lebih dari cukup untuk melatih diri tentang jarak dan kuatnya ikatan batin ibu dan anak. Bukankah sejauh apapun jarak, yang ditakdirkan bersama akan bersama? Pun juga merantau, sejauh apapun pergi, bukankah tempat kembali adalah keridhoaan hati seorang ibu?  

Jika ditanya soal ridho, kira-kira hati siapakah yang akan kamu menangkan pertama kali dalam hidupmu? Banyak yang menjawab ingin memenangkan hati orang tuanya namun fakta yang terjadi adalah sebaliknya. Kebanyakan anak justru hanya memenangkan hatinya sendiri dan meminta orang lain untuk mengalah. Padahal yang terjadi pada orang tua adalah sebaliknya, selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, selalu berusaha ridho agar anaknya bahagia, agar anaknya tidak sengsara. Ah ya, kita manusia, kadang-kadang lupa pada rahim siapa kita dititipkan, lewat buaian siapa kami dibesarkan, dari tetesan keringat siapa kita bisa melewati hari demi hari takdir hidup Ilahi. Manusia, manusia, manusia, memang tempatnya hilaf dan lupa. Tapi bukankah kasih sayang orang tua tidak pernah berkurang sedikitpun?.

Mari menangkan hati Ibumu, karena sungguh merekalah sumber kebahagiaan itu. Ridho Allah adalah ridho orang tua. Bukankah memang hidup adalah soal membuat hati manusia berbahagia.  Bukankah memang hidup adalah untuk bermanfaat untuk orang lain? Mari memulai bahagia dengan membuat bahagia hati orang tuamu, hati ibumu. Sangat sering kita temui, banyak yang menebar kebaikan pada orang kebanyakan tapi lupa memberi kabar pada orang tuanya. Banyak kita temui orang-orang yang “terlihat sholih dengan ibadahnya” namun menyakiti hati ibunya. Padahal Rasulullah telah mengisyaratkan untuk memuliakan ibumu, ibumu, ibumu.  

Lalu pada akhirnya, jika berbahagia dalam jarak berdekatan dengannya masih belum bisa kamu lakukan, ada cara lain yang juga dapat melegakan hatinya. Teleponlah ibumu, sampaikan apa saja, berceritalah tentang hidupmu, sunggu cerita itu adalah penawar rasa rindu. Berbahagia itu mudah, bukan semata-mata soal materi melimpah, tapi bercerita dengan ibumu tentang renyahnya hidup itu sudah lebih dari cukup untuk saling membahagiakan. Bukan begitu? Heheh, ya begitu bukan? *Anyway, kelak bukan hanya hati ibumu yang perlu kamu menangkan, tapi juga ibu suamimu. Karena Ibunya adalah ibumu.
Share:
Continue Reading →

Wednesday, November 14, 2018

Edisi Jum’at_KuMenulis: Sekilas tentang Air

Isu lingkungan saat ini telah menjadi masalah diseluruh dunia, bahkan kesepakatan pembangunan lingkungan melalui SDGs menempatkan tersedianya air bersih sebagai isu krusial yang harus dituntaskan. Tentu krusial, sebab air adalah sumber kehidupan manusia. Kita bisa saja hidup sehari, dua hari, atau bahkan sebulan tanpa gadget. Tapi bisakah kita hidup tanpa air? Jawabnya;  adalah sulit bertahan hidup tanpa adanya air dimuka bumi ini. 

Kajian komunikasi pembangunan salah satunya berfokus pada pengelolaan air yang berkelanjutan. Artinya, penggunaan air hari ini harus memperhatikan ketersediaan air dimasa depan. Sumber air, khususnya di Indonesia melimpah, tetapi jika tidak dikelola dengan baik, ketersediaan air dimasa depan bisa saja terancam. Salah satu sumber air yang sering tidak diperhatikan kebersihannya adalah sungai.Sungai pada masa lampau adalah sumber air utama bagi masyarakat. Rata-rata aktivitas menggunakan air dilakukan di sungai, mencuci baju, cuci piring, bahkan untuk mandipun, orang-orang zaman baheula menggunakan air sungai. Lambat laun, kualitas air sungai mulai menurun seiring semakin banyaknya penduduk yang menyebabkan tingkat aktivitas menjadi padat. Sungai beralih fungsi menjadi tempat sampah raksasa untuk pembuangan segala jenis limbah. Baik limbah industri, rumah tangga, maupun limbah dari aktivitas medis.

Alih fungsi sungai menjadi tempat sampah raksasa tersebut baru disadari menimbulkan bencana seperti banjir atau ancaman kesehatan berupa menyebarnya penyakit diare pada masyarakat di sempadan sungai. Jika hal ini tidak diantisipasi, tentunya keberlanjutan kehidupan manusia bisa saja terancam.  Lalu, bagaimanakah memulai? 

Komunikasi pembangunan adalah salah satu bidang ilmu yang mengkaji tentang manusia dan lingkungan. Salah satu ahli dibidang ini adalah Robert Cox melalui teori komunikasi lingkungan yang ia tuangkan dalam buku Environmental Communication and The Public Sphere. Pada intinya, manusia dan alam memiliki interaksi kuat yang saling berkaitan. Jika perilaku lingkungan seseorang baik, maka baik juga kualitas lingkungan. Sebaliknya. Buruknya lingkungan adalah gambaran buruknya perilaku manusia. 

Dalam kitab suci umat Islam (Al-Qur’an) telah banyak diberitakan tentang air. Kawan cobalah cek di QS.41:39, QS.50:11, QS.45:5, QS.2:164, QS.22:5, QS.30:24, QS.11:7 dan masih banyak ayat-ayat lain. Jika ditelaah dengan Tafsirnya, jelaslah akan memberikan makna yang lebih dalam. Masalah lingkungan yang terjadi saat ini disebabkan perilaku kita yang tidak ramah lingkungan, karena kita tidak menyadari bahwa lingkungan adalah ciptaan Allah yang harus kita jaga, kita manfaatkan dengan arif dan bijaksana.
Share:
Continue Reading →

Temui Aku Saat

Ada salah satu scene dalam film Bohemian Rhapsody dengan pesan yang bagi saya cukup kuat untuk direnungi. Seorang kawan Freddie Mercury, vokalis band ternama Queen berkata “temui aku saat kau telah mencintai dirimu sendiri”. Kalimat itu diucapkan pada Freddie yang sedang dalam pergolakan batin atas beberapa kejadian yang menimpa hidupnya. Dan, saya tertegun menyaksikan percakapan di film itu, bukankah memang penting untuk mencintai diri sendiri?

Ya, mencintai diri sendiri berarti mensyukuri penciptaan Tuhan. Mencintai diri sendiri berarti menerima segala kelebihan dan kekurangan pada diri. Mencintai diri sendiri itu penting, karena dengan mencintai diri sendiri, akan mudah bagi kita mencintai orang lain. Mencintai diri sendiri berarti siap menerima saran dan kritik orang lain, karena nyatanya kita adalah manusia yang selalu punya kekurangan, tidak sempurna. Maka cintailah dirimu agar semesta ikut mencintaimu.

Anyway, sudahkah kita bersyukur hari ini? atas segala bentuk fisik yang telah Tuhan berikan pada kita, atas segala materi yang kita punya, atas segala kenikmatan berada disekitar orang-orang yang kita sayangi, bahkan atas perasaan yang Tuhan titipkan untuk kita? Jika belum, mungkin kita perlu merenung kembali; bahwa mencintai diri sendiri adalah awal yang baik agar kita dapat mencintai orang lain, dan agar orang lainpun dapat mencintai kita. Mari sebarkan cinta dan kedamaian.
Share:
Continue Reading →

Bahasamu, Cerminan Hidupmu

Masih ingat pelajaran Bahasa? Bahasa apapun; Indonesia, Arab, atau Inggris, adalah subjek yang diajarkan secara formal sejak seseorang duduk di bangku SD. Bahkan secara informal, bahasa telah menjadi sinyal bagi manusia dalam berinteraksi. Konon bahasa itu sudah terbentuk sejak manusia berada dalam kandungan ibunya. Saking terlalu sering diajarkan dan digunakan, kadang-kadang banyak orang yang lupa tentang esensi penggunaan bahasa. Ada yang menjadikan bahasa hanya sebatas alat untuk terhubung dengan orang lain, ada juga yang memaknai bahasa lebih dari itu; bahwa bahasa adalah cerminan hidup. Mengubah bahasa berarti juga mengubah hidup. Mari mulai berkaca diri, kira-kira, kawan-kawan termasuk yang mana?
--------
Well. Masih adakah yang ingat sepatah dua kata atau kalimat kalimat positif yang dulu pernah diucapkan orang-orang disekitarnya? Mungkin ada yang masih ingat ungkapan Ibu atau Bapak yang seperti ini, "anakku sayang", "pinter anak ibu", "kamu pasti bisa", "ayo terus berusaha", dan ungkapan-ungkapan lain yang selanjutnya memberikan dampak positif dalam kehidupannya. Ya, anak yang tumbuh dengan lingkungan bahasa positif akan menjadi anak yang mudah menghargai karena iapun diperlakukan demikian. Sementara anak yang tumbuh dengan lingkungan bahasa yang seringkai bermakna negatif juga akan tumbuh menjadi anak yang kurang menghargai. Bahkan bisa jadi, bahasa negatif yang sering didengarkan seseorang sejak ia kecil hingga saat ini masih menyisakan luka batin yang mendalam.

Sebut saja anak yang sering mendengar orang tuanya melarang segala hal yang ingin ia lakukan. Adalah kata jangan, jangan, dan jangan, sebuah kata magic yang tidak kita sadari tertanam dalam alam bawah sadar seseorang untuk tidak melakukan ini, jangan melakukan itu, serta banyak jangan jangan yang lain. Kalimat larangan hanya akan mematikan kreatifitas seorang anak, mematikan kepercayaan dirinya, hingga akhirnya sulit menentukan pilihan hidup karena takut berbuat kesalahan. Jika begini, apa ia kita perlu kembali ke masa kecil untuk berbahasa dengan baik dan benar? Tentu saja tidak bukan?

Menjelaskan makna bahasa tidak akan cukup dengan satu dua paragraf. Tapi paling tidak, sekilas tulisan ini dapat menjadi pengingat agar hati-hati dalam berbahasa. Mengubah bahasa berarti mengubah hidupmu. Mari mulai berbenah. Mari mulai berbahasa yang positif dan tidak meninggalkan luka.  Bahasamu, Cerminan Hidupmu. 
Share:
Continue Reading →

Saturday, October 20, 2018

Hujan, teh manis, dan teras rumah

Sore ini hujan turun membasahi tanah Dramaga yang kering. Tetesan air dari langit itu terdengar sangat jelas, jatuh satu persatu ke atap rumah kecil ini. Lalu apa yang paling diingat ketika hujan turun? Semua anak rantau akan setuju, bahwa hujan adalah saat yang tepat dan waktu yang paling romantis untuk mengingat kampung halaman. Benarkah begitu? Duhai anak rantau bersuaralah...

Jika saya salah, marilah bersepakat bahwa hujan itu identik dengan air mata. Hahaha.  Mengapa? Karena hujan selalu memberi ruang pada bilik hati yang sepi untuk bersuara lantang tanpa ada yang bisa mendengar kecuali Tuhan dan kesepian itu. (Dududu, yang tidak sepakat silahkan angkat kaki).

Hujan itu syahdu, hujan itu candu. Suara tetesan airnya seakan mengajak memori untuk berlari menuju masa lalu. Terlebih masa lalu saat masih anak-anak. Hujan bagi anak desa kala dulu adalah teman setia, saat anak kota di marahi ayah ibunya bermain hujan, anak desa kala itu justru keluar rumah dengan riang gembira.

"Goyong....goyong..." kata-kata yang selalu terdengar jika hujan deras turun dikampung kami. Goyong goyong, kata yang sampai sekarang pun tidak ku mengerti artinya. Sebatas itulah anak-anak desa memaknai hujan, adalah tentang riang gembira dan berkumpul bersama.   

Lalu saat waktu bermain harus diakhiri, sekujur tubuh anak desa yang basah kuyup itu harus pulang. Ibu-ibu biasanya sudah siap dengan teh manis hangat dan sepiring pisang goreng. Hujan, teh manis dan teras rumah seperti satu paket komplit untuk menemani kehangatan keluarga. Teh hangat tentunya untuk menyegarkan badan si anak desa yang menggigil karena hujan, lalu pisang goreng untuk menjadikan hidupnya semakin manis, dan teras rumah adalah latar kejadian yang semakin menambah keromantisan keluarga.

Begitu kira-kira potret kehidupan desa kala dulu. Sebatas itu, sesederhana hujan turun membasahi atap-atap rumah. Bukanlah sederhana itu indah. Mari menjadi sederhana dalam dunia, lalu bahagia hingga ke surga.

Dramaga 20 Oktober 2018
Titip rindu untuk semua yang patut di rindui
Share:
Continue Reading →

Friday, October 19, 2018

Membaca Khadijah

Tulisan ini terinspirasi dari novel berjudul “Khadijah, Ketika Rahasia Mim Terungkap”. Sebuah tulisan dengan bahasa ringan, mudah dipahami, serta berisi hal penting namun kadang-kadang terabaikan oleh perempuan yang mengaku muslimah. Bacaan dan tulisan ini semoga menjadi pengingat untuk saya pribadi, bahwa diantara sekian banyak profil perempuan hebat yang sering tampil di layar media, Ibunda Khadijah r.a., jauh sebelum kita hadir ke dunia ini, telah memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi perempuan, bagaimana seharusnya mencintai, dan bagaimana melakukan sebuah pengabdian.

Sosok Khadijah adalah perempuan yang dihormati oleh orang-orang disekitarnya. Selain berasal dari keturunan yang juga dihormati, profil Khadijah sebagai seorang pedagang kaya adalah hal yang tidak dapat di tampik kebenarannya. Sebelum bertemu Rasulullah, Khadijah telah pernah sekali menikah dan dikaruniai dua orang anak. Hingga suami pertamanya wafat lalu beberapa masa setelah itu bertemulah Khadijah dengan Muhammad Al-Amin. Awalnya, apa yang dirasakan Khadijah terhadap Al Amin hanyalah sebatas relasi antara karyawan dan pemilik dagangan. Namun Allah menurunkan rasa kagum yang berbeda hingga akhirnya mereka menikah, lalu satu persatu keturunan pun lahir kedunia.

Pada setiap perjalanan dagang Muhammad Al-Amin, Khadijah adalah orang yang selalu berjaga menanti kabar sang suami. Khadijah baru akan bergembira saat kabar kepulangan suami telah sampai ke telinganya. Khadijah bahkan mencoba merasakan apa yang dirasakan suaminya dalam perjalanan dagang dengan cara ikut berjemur dibawah terik matahari. Khadijah, selalu khawatir dan menanti-nanti kepulangan Muhammad Al Amin yang telah menjadi suaminya. Hal itu adalah gambaran betapa tingginya cinta Khadijah terhadap suaminya Muhammad Al Amin.

Khadijah Al Kubra bertemu dan menikah dengan Muhammad Al-Amin sebelum risalah kenabian turun. Banyak yang tidak percaya ketika wahyu pertama itu turun, bahkan paman Nabi saat itupun menjadi orang yang tidak percaya pada keponakannya sendiri. Nabi kita dianggap gila saat itu. Lalu satu-satunya orang yang pertama percaya akan risalah kenabian itu ialah Khadijah. Tanpa keraguan sedikitpun Khadijah menjadi sosok yang selalu menenangkan Nabi Muhammad. Khadijah Al Kubra selalu menangkan dengan kalimat-kalimat yang meyakinkan, bahwa Al Amin adalah orang baik yang selalu jujur dalam berkata dan bertindak, maka risalah kenabian itu bukanlah sesuatu yang patut diragukan.

Khadijah adalah sosok dewasa dengan kecerdasan emosional yang tinggi. Ketajaman pikiran dan logikanya mampu menalar bahwa apa yang dikatakan Nabi Muhammad tentang hadirnya malaikat Jibril adalah hal yang benar. Khadijah selalu memberikan ketenangan bagi Muhammad Al Amin. Kadang-kadang dalam perjalanan, keheningan dan kebisuanlah yang terjadi diantara mereka. Hati mereka telah saling menyatu hingga kata-kata dirasa tak perlu lagi untuk diucapkan. Khadijah selalu siap menjadi ibu dan kekasih Nabi. Bahkan Allah s.w.t. dan malaikat Jibril pun menyampaikan salam kepada Khadijah. Nabi selalu merasakan ketenangan jika Khadijah berada di sisinya. Bahkan saat tanggung jawab Nabi Muhammad semakin besar, Khadjah sangat peka dengan mulai menghandle sendiri urusan perdangan keluarga.

Betapa sangat bijak dan dewasa sosok Khadijah Al Kubra, bahkan hingga wafat dan posisi Khadijah digantikan dengan sosok pendamping lain, Nama Khadijah tetap hidup dalam hati dan jiwa Rasulullah.

Suatu hari dengan penuh kesedihan Rasulullah menggoreskan empat buah garis ke tanah dengan cabang pohon kurma.

“Tahukah kalian apa arti empat garis ini?”
“Rasul Allah pastilah tahu yang sebenar-benarnya”, jawab mereka
“Empat garis ini menggambarkan empat wanita ahli surga yang paling mulia”

Khadijah putri Khuwailid
Fatimah putri Muhammad
Istri Fir’aun, putri Mudzahim, Asiyah
Dan Maryam putri Imran.

Semoga Allah meridhai mereka
Bogor, 19 Oktober 2018
Share:
Continue Reading →

Friday, October 12, 2018

Memberi Buah Terbaik

Hari sudah sore, kampus mulai sepi dan langitpun diselimuti gelap secara perlahan. Masih ada satu perempuan berdiam dalam ruangan kerjanya. Ah ya, ternyata kami berjodoh sore tadi, dosen pembimbing saya belum juga pulang. Rupanya Allah telah mengatur pertemuan kami meski sebelumnya tidak ada janji untuk saling bertemu.

“Ega, satu menit saja ya, kamu kan gak janjian”
“Ia Ibu maaf belum janjian, tapi satu menit boleh ya Bu. Kataku sambil sedikit nyengir”
“Boleh...., gimana-gimana, udah sampe mana kamu”


Dan akhirnya waktu satu menit itu berubah menjadi lima menit, sepuluh menit, hingga tak terasa hampir satu jam kami saling berbincang. Banyak hal kami diskusikan, tentunya yang utama adalah tesis, tesis, dan tesis. Tesis memang telah menjadi “momok” yang indah sekaligus menakutkan akhir-akhir ini. Terasa indah karena saya menikmati substansi topik dan penulisan tesisnya. Namun menjadi momok menakutkan karena belum juga ada persetujuan turun lapang dari dua dosen sementara waktu semakin berlalu. Banyak hal bertautan dalam hati dan pikiran. Intinya, tesis ini harus segera selesai agar tanggung jawab lain bisa diemban dengan baik.

Satu hal menarik yang beliau sampaikan sore tadi, bahwa menulis karya itu seperti kita memiliki pohon mangga. “Berilah buah mangga terbaik yang kamu punya, agar manfaat yang dirasakan orang yang menerimanya menjadi berkah dan terasa sampai ke jiwa. Kamu bisa saja seenaknya menerbitkan karya, tapi jika hasilnya adalah karya tanpa ruh, untuk apa?”
Share:
Continue Reading →

Monday, October 8, 2018

Titip Satu Cinta

"Titip Satu Cinta" sebenarnya judul sebuah novel. Tapi ingin saya jadikan judul pada tulisan ini. Saya kira kisah dalam novel tersebut menarik untuk dibagikan, meski saya pribadipun belum sempat membacanya
😄

Kebenaran, kebetulan, hari Ahad kemarin saya berkesempatan bertamu dengan penulisnya. Mereka,  Haviz Deni & Elmy Suzanna ternyata sepasang suami istri. Kisah dalam novel inipun adalah kisah mereka. Sebuah cerita perjuangan dari rasa sakit. Kisah yang menggugah hati, bahwa segala bentuk kedekatan kepada Allah adalah kenikmatan terbesar dan tertinggi dibandingkan dengan kenikmatan lain yang bersifat duniawi. 

Pagi menjelang siang kemarin saya bertemu dan berkumpul dengan sekitar tiga puluhan orang muslimah Rumah Qur'an Bogor. Mendengarkan langsung kedua penulis itu bertutur, bahwa manusia memang boleh punya target, manusia boleh memiliki impian dan keinginan. Namun, kadang-kadang yang terjadi tidak sejalan dengan keinginan kita sebagai manusia. Bisa jadi lebih baik dari impian tersebut (versi manusia), bisa saja bertolak belakang dengan mimpi dan harapan, atau bertentangan dengan cita-cita. 

Haviz Deni dimasa mudanya bercita-cita mendapat pendamping hidup yang baik dari segi agama, harta, paras wajah dan dari keturunan baik. Berkali-kali menjalani proses berkenalan (ta'aruf) tidak membuat Haviz Deni menemukan tautan hatinya. Selalu ada yang kurang pada diri perempuan yang dipertemukan itu, yang sering terjadi adalah kurangnya dari sisi agama. Sampai pada suatu waktu, perkenalan terjadi secara tidak sengaja dengan Elmy Suzzana. Disertai dengan segala kekurangan Elmy, Haviz ternyata mantap menautkan hati hingga sampai ke pernikahan. 

Secara logis, Ummi Elmy bukanlah sosok ideal yang diimpikan Haviz. Namun kekuatan iman justru menyatukan mereka. Elmy dengan kondisi orang tua divorce adalah jodoh yang telah di tentukan Allah. Hal yang paling membutuhkan perenungan panjang bagi Haviz adalah kondisi  sakit Ummi Elmy. Ya, Ummi Elmy harus menjalani cuci darah akibat penyakit ginjal akut. Ya, cuci darah dilakukan setiap dua minggu sekali. Selain membutuhkan biaya yang tidak sedikit, hal yang paling membuat dilema adalah kemungkinan penderita sakit ginjal untuk memperoleh keturunan. Sangat kecil kemungkinan untuk memiliki anak. Namun, Allah telah menaqdirkan pertemuan mereka, Allah jugalah yang akan mengatur segala jalan hidup manusia. Maka akhirnya mereka menikah.  

Banyak lika liku kehidupan yang dilalui pasangan suami istri. Namun pada intinya mereka selalu berusaha menjadi keluarga yang berbuat kebaikan. Terutama Ummi Elmy, kesakitan yang ia rasakan menjadi motivasi untuk selalu dekat dengan Allah. Segala hal yang diperintahkan Allah dan mampu ia kerjakan pasti akan ia kerjakan. Orang sakit itu dekat dengan kematian. Maka Ummi Elmy ingin menghembuskan nafas terakhirnya dalam kondisi meninggalkan banyak kebaikan, karena kelak amal kebaikan itulah yang akan menjadi penolongnya. 

Dan, ini poin penting yang membuat saya terharu. Bahwa ditengah usaha Ummy Elmy untuk bertahan hidup, Menjadi Hafizah adalah hal yang sedang upayakan.     

Satu pesan Haviz Deni kepada kami, 
"Serahkan hidupmu pada Allah. Jika sudah, maka yang terjadi itulah yang terbaik".  
Share:
Continue Reading →

Thursday, October 4, 2018

Jumat_KuMenulis: Parasosial Media Massa

Parasosial? Makanan jenis apakah itu? Well, ini sebenarnya review perkuliahan jaman semester I di kelas Psikologi Komunikasi. Kelas yang bikin mahasiswanya keder sama literatur asing dan presentasi yang memicu adrenalin. Hahha. Alhamdulillah udah terlewati lah ya, jadi pula satu-satunya yang dapat A di kelas (*sombong banget kamu Ga). Paling tidak, terbalaskanlah rasa nano-nano selama hampir 6 bulan berkutat dengan literatur dan presentasi.

Parasosial: kebetulan ini topik presentasi saya. Tema yang benar-benar baru bagi saya saat itu. Mungkin akan berbeda bagi kawan-kawan psikologi, karena sebenarnya parasosial termasuk kajian psikologi. Kenapa ada di subjek komunikasi? Ya karena yang namanya berbau-bau media adalah domain ilmu komunikasi, sementara efek media menyangkut juga sampai pada efek psikologis. Jadilah dua ilmu ini berkolaborasi menghadirkan tema menarik yang disebut “Interaksi Parasosial”.

Parasosial: saya memahami secara mudahnya gini “semakin sering kita terekspose alias terpapar informasi tentang sesuatu, atau seseorang –publik figur– dari media massa, akan semakin tinggi juga perasaan kita mengenal sesuatu atau seseorang tersebut”.

Misalnya, saking seringnya saya nonton berita, baca caption IG, atau baca cuitan twitter tentang Ibu Ratna Sarumpaet, maka saya akan semakin merasa mengenal sosok Ibu Ratna Sarumpaet tersebut. Padahal, belum tentu apa yang ditampilkan di media itu sesuai dengan keadaan / kondisi asli sosok yang kita maksud.

Atau contoh lain, semakin sering saya mendengar, membaca, atau melihat informasi tentang sosok Artis semacam Syahrini, Aril, Iqbal a.k.a Dilan :D, semakin juga saya merasa mengenal sosok tersebut secara mendalam. Padahal, apa yang ditampilkan media belum tentu sesuai dengan kondisi asli para publik figur tersebut.

Nah, adanya efek seperti ini berimbas dalam interaksi kita dengan orang-orang sekitar di dunia nyata. Contoh; frekuensi dan intensitas saya memperoleh informasi media massa tentang Aril sangat tinggi. Muncullah perasaan mengenal sangat dekat sosok Aril tersebut. Lalu disuatu hari, terjadi percakapan antara saya dengan teman saya: “tau gak sih si Aril tu sebenarnya bla bla bla, dia tuh emang kayak gitu bla bla bla”.  Kita berbicara seakan-akan sangat mengenal Aril, seakan-akan kita sangat dekat dengan Aril. Padahal, didunia nyata kita bahkan mungkin tidak pernah tau dengan pasti seperti apa sosok Aril yang sering kita liat dan dengarkan informasinya di media massa itu. Bisa jadi berbeda 100% antara apa yang ditampilkan media dengan kenyataannya.

Ya, sebenarnya bukan masalah besar sih, asal gak mempengaruhi kehidupan mendasar kita sebagai manusia yang hidup di dunia nyata (*nah loh, apaan sih Ga). Tapi saya menganggap ini sesuatu yang tidak boleh dibiarkan terlalu berlebihan. Apalagi sumber informasi kita saat ini sering kali dari media abal-abal dan bermuatan HOAX.

Mendingan banyakin baca buku tentang tokoh islam dari masa kejayaan peradaban Islam, bukunya pilih jangan yang abal-abal, cek dulu dari penulis dan penerbit mana tulisan tersebut terbit. Sebagai perempuan, saya menyarankan baca tentang ketokohan Ibunda Khadijah r.a., karena beliaulah Ibundanya para muslimah. Pendamping Rasul Allah, pendamping Nabi Terakhir, yang sosoknya tidak tergantikan bahkan oleh Siti Aisyah r.a.. Kebayang kan gimana fenomenalnya sosok beliau. Kalo gak suka baca buku bisa juga dapat infonya dari media massa lainnya semacam youtube, dan lain-lain.

Bagi yang mau baca lebih lanjut tentang parasosial, saya ada ebooknya, tapi kalo mau sekilas boleh cek link ini, https://books.google.co.id/books?id=_p-FCgAAQBAJ&pg=PT1126&lpg=PT1126&dq=21+first+century+psychology+communication+Eadie+william&source=bl&ots=8PLlcu3J6p&sig=T8JywbqIGLkZI8oBc74isnH0jQI&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwi8qMyBmu7dAhULMI8KHXb0CQUQ6AEwC3oECAIQAQ#v=onepage&q&f=false

Udah ya, hari Jumat nih. Banyakin shalawatnya. Masih pagi, jangan kebanyakan merenung. Semoga kita bertemu diruang nyata. Salam sayang ukhty.

Bogor, 05 Oktober 2018
Contact me on Facebook Megafirmawanti Lasinta or Instagram @megaflasinta  
Share:
Continue Reading →

Wednesday, October 3, 2018

Review: Theory And Language Of Climate Change Communication

Brigitte Nerlich, Nelya Koteyko, dan Brian Brown pada tahun 2010 mempublikasikan tulisannya tentang komunikasi lingkungan berkaitan dengan perubahan iklim. Tulisan ini diterbitkan dalam Advanced Review Edisi I Bulan Januari-Februari 2010 dengan nomor DOI: 10.1002/wcc.002. Review tersebut berisi ulasan tentang pentingnya penggunaan bahasa dalam komunikasi.

Mengkomunikasikan perubahan iklim adalah sesuatu yang rumit disebabkan dua hal. Pertama, bahwa perubahan iklim (climate change) adalah hal yang kompleks untuk dipahami. Kedua, bahwa proses komunikasi bukanlah sesuatu yang sederhana. Kedua hal ini menyebabkan proses mengkomunikasi perubahan iklim menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Lebih jauh lagi, komunikasi bukan hanya ditujukan untuk mengubah rasionalitas publik, tetapi bagaimana agar suatu masalah lingkungan menjadi menarik untuk dibahas dan memiliki makna.

Beberapa studi menyatakan bahwa komunikator perubahan iklim harus mengkolaborasikan aspek kognitif, emosional dan perilaku ketika menstimulus masyarakat untuk berperilaku yang ramah terhadap lingkungan. Nerlich dkk menilai, komunikasi tidak akan efektif jika hanya memperbanyak saluran komunikasi atau memperbanyak pesan lingkungan. Yang paling penting dalam komunikasi lingkungan adalah penggunaan bahasa.

Bahasa adalah instrumen praktis untuk menstimulus perilaku masyarakat. Bahasa adalah sinyal yang selalu digunakan masyarakat dalam kehidupannya. Banyak ahli bersepakat bahwa masalah perubahan iklim adalah isu krusial. Banyak juga ahli yang bersepakat adanya faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi perubahan perilaku. Namun masih sedikit yang meneliti tentang “apa yang seharusnya dibicarakan tentang perubahan iklim?”, "bahasa apa yang seharusny digunakan?".

Kesadaran tentang perubahan iklim memang telah ditingkatkan, informasi juga sudah cukup tersedia, tetapi mengapa masih sulit membentuk perilaku yang responsif terhadap perubahan iklim? Bagaimana peran komunikasi dalam perubahan perilaku? Komunikasi perlu menggunakan campuran mode dan strategi, dari verbal ke visual, dari kata yang diucapkan ke pesan digital. Pesan dari seorang komunikator lingkungan baru akan dipahami jika mereka memahami masyarakat, nilai-nilai masyarakat, ketakutan masyarakat, harapan, dan situasi komunikasi yang terjadi dalam masyarakat. Peran bahasa dalam hal ini adalah mengarahkan individu pada cara pandang tertentu dalam menafsirkan, mendefisnisikan, dan berfikir tentang perubahan iklim.

Metafora adalah salah satu pilihan bahasa yang dapat digunakan. Contoh penggunaan metafora adalah mengaitkan masa usia manusia yang tidak lama lagi disebabkan dampak perubahan iklim. Inti penggunaan bahasa metafora adalah analogi dalam menjelaskan perubahan iklim dan pentingnya penyesuaian perilaku dalam mengurangi dampak lingkungan. Contohnya "manusia mungkin dapat hidup tanpa gadget dalam genggaman, namun manusia tidak dapat hidup tanpa air".

Referensi 
Nerlich B, Koteyko N, Brown B. (2010). Theory And Language Of Climate Change Communication. Advanced Review. January-February 2010 (1). DOI: 10.1002/wcc.002

Bogor, 03 Oktober 2018
Contact me on Facebook Megafirmawanti Lasinta or Instagram @megaflasinta
Share:
Continue Reading →

Friday, September 28, 2018

Bumi Kita Sudah Tua, dan Kita Selalu Terlambat

Baru saja Indonesia digemparkan dengan berita kematian suporter bola, lalu sore ini berita bencana gempa di Sulteng semakin membuat duka. WAGrup yang biasanya sepi-sepi saja tiba-tiba ramai dengan informasi gempa. Ada yang menyebar video, ada yang saling menanyakan kabar, dan berbagai macam ekspresi lainnya. Semua terekam melalui dunia maya, lewat media.

Sebagai perantau dari Sulteng, saya memilih untuk tidak panik terlebih dahulu, berusaha berpikiran positif lalu membaca informasi dengan tenang dan teliti. Tentunya informasi pertama yang saya cari adalah dimana pusat gempanya? Berapa kekuatannya? dan yang paling penting apakah keluarga saya di Sulteng baik-baik saja? Atau malah terkena dampak?

Sangat cepat mendapatkan informasi pusat gempa, ternyata cukup jauh dari rumah tempat tinggal ayah dan ibu. Meski tak ada kabar dari mereka melalui WAGroup ataupun telpon dan SMS, setidaknya kabar dari beberapa kawan di kampung membuat sedikit kelegaan, terlebih lagi kabar dari adik yang tinggalnya di kabupaten tetanggapun mengabarkan bahwa semua baik-baik saja, katanya, “disini hanya sedikit getarannya”. Segala puji bagi Allah.

Lega rasanya, namun kejadian ini sungguh menggelitik hati dan pikiran saya, seperti benang-benang yang saling berkelindan. Susah untuk diurai. Hati sedih karena informasi dalam WAGroup menampilkan video-video dan cerita-cerita menyedihkan yang membuat hati pilu. Ada perasaan takut jika tiba-tiba gempa pada akhirnya melanda kampung halaman. Sementara pikiran berkecamuk karena  dampak bencana seharusnya dapat diminimalisir. 

Memori saat saya duduk di kelas 4 SD silam tiba-tiba muncul. Menggambarkan kembali situasi saat itu, kalau tidak salah tepat dihari Kamis sekitar pukul 12.00 WITA. Siang itu, kursi dan meja murid masih tertata rapi saat mata pelajaran sedang berlangsung. Lalu suara gemuruh disertai guncangan hebat datang menghampiri kami. Luluh lantak. Manusia berhamburan ke tanah lapang dengan tangis dan suara teriakan histeris. Anak-anak mencari ibunya. Ayah Ibu mencari anaknya. Ada korban meninggal. Ada korban luka. Ada rumah yang rata dengan tanah, masih juga ada berdiri kokoh dengan sedikit retak.  Waktu itu, tanah lapang yang sepi dipenuhi manusia. Masing-masing memuji nama Allah. Keluarga saya masih dilindungi. Alhamdulillah lengkap.

Tapi ketakutan menghampiri kami. Malam itu warga di desa (termasuk keluarga saya) mengungsi ke ketinggian, takut-takut jika terjadi tsunami. Malam kami dingin, hujan dan petir adalah kawan kami, datang silih berganti. Ayah ibu rela tak tidur untuk menghadirkan rasa aman kepada anak-anaknya. Ah ya, saya akhirnya hidup di pengungsian, tidak sekolah. Hanya bermain. Dan kita tidur di tenda selama kurang lebih tiga bulan. Tapi itu sudah terlewati. Sempat memori ini muncul kembali secara samar-samar saat saudara di Lombok merasakan hal yang sama. Namun sore hingga malam ini, memori itu jelas, mungkin karena saya memang sengaja menghadirkannya kembali. Ah, sudahlah.

***Rabbi. Ampuni kami jika kami terlalu melampaui batas-batas perilaku yang seharusnya. Ampuni kami jika kami begitu terlena dengan dunia. Inikah isyarat-Mu. Bahwa bumi kita sudah tua, dan kita (manusia) selalu terlambat. Izinkan kami untuk memperbaiki apa-apa yang dapat kami perbaiki. Hati, pikiran, perasaan, dan tentunya perilaku. ***

Baru saja tadi pagi saya menyimak kembali video ILC tentang kematian suporter Persija. Baru saja tadi pagi saya membaca tentang komunikasi resiko (risk communication) dalam komunikasi lingkungan. Kata Prof. Flor (sang penulis), kita selalu terlambat dalam menghadapi bencana. Seringkali “sesuatu” itu kita lakukan setelah merasakan dampak negatifnya. Contoh saja kematian suporter persija, haruskan menunggu ada nyawa yang hilang lalu semua pihak ramai bicara dan duduk bersama? Dalam kasus gempa, haruskan ada rumah-rumah warga luluh lantak dulu agar kita sadar lalu membangun sistem?

Ya, bahwa kejadian bencana memang ditangan Allah, saya yakin itu. Namun manusia dengan kapasitas (capacity) yang dimilikinya seharusnya mampu “meminimalisir” dampak bencana. Dalam perspektif komunikasi, inilah tugas komunikator lingkungan untuk melakukan komunikasi resiko. Komunikator lingkungan adalah semua pihak. Komunitas lokal, pemerintah, organisasi non pemerintah, termasuk didalamnya media.

Ada tiga jenis komunikasi resiko yang perlu dilakukan. Sebelum bencana terjadi, saat bencana terjadi, dan setelah bencana terjadi. Komunikasi lingkungan, –termasuk didalamnya komunikasi resiko bencana– adalah tentang mendidik (educate), memperingatkan (alert), mempengaruhi (persuade), dan menggerakkan (mobilize) agar dampak bencana dapat diminimalisir oleh siapapun yang merasa bertanggungjawab. Lalu kira-kira, kita (dalam posisinya masing-masing) sudah melakukan apa untuk meminimalisir dampak becana tersebut? atau, apa yang kita lakukan sebelum, saat, atau setelah bencana terjadi? 

Kita tidak ingin berpangku tangan bukan? Sistem peringatan dini (early warning system) terkait gempa di Indonesia memang masih sangat minim (bahkan belum terbangun dan terintegrasi dengan teknologi, kebijakan, dll). Namun, komunikasi yang kita lakukan pada dasarnya adalah alat untuk membentuk sistem tersebut.

Saat bencana terjadi, "kita" dapat berperan bijak dengan tidak menyebarkan informasi yang kebenarannya masih dipertanyan.  “Kita” dapat mengambil peran dengan tidak mendramatisi keadaan sehingga terlihat semakin menyedihkan. "Kita" pun dapat berperan bijak dengan tidak serta merta bertanya kepada orang-orang yang berada dilokasi dengan “ribuan” pertanyaan yang sebenarnya membuat mereka semakin panik.

“Kita” dapat menjadi menjadi bijak untuk tidak terlalu ramai berkoar-koar di dunia maya dan tidak menggunakan bahasa-bahasa apokaliptik (apocaliptic) yang cenderung melebih-lebihkan keadaan. Dan tentunya masih banyak peran “kita” yang dapat dilakukan dengan bijak, dengan baik. Dan yang paling penting adalah “Kita perlu  sama-sama membangun sistem peringatan dini terkait bencana di negara ini, kolaborasi antar aktor dan tentunya komunitas lokal setempat dengan kearifan lokal yang dimilikinya”.

Jangan menambah kepanikan dengan keributan di sosial media. Cukupkan informasinya. Pikirkan peran apa yang harus dimainkan. Dan lakukan.

Bogor, 29 September 2018
Maafkan celotehan ini
Share:
Continue Reading →

Friday, September 21, 2018

Tesis

Hai girls, dulu aku sempat nulis di blog, kalo suatu saat bakalan nyeritain tentang tesis lewat blog. Haha, ya gak penting-penting juga sih tesisku ini. Buktinya belum kelar-kelar. Ibarat padi, kayaknya sudah sampe panen kali ini tesis belum juga kelar. Tapi gak apa-apa lah ya. Hitung-hitung berbagi pengalaman dan suka duka. Sore ini sepertinya waktu yang tepat buat cerita tesis. Semoga yang sedang tesis macam saya semangatnya gak pernah kendor, karena ini adalah satu tangga kehidupan yang kita pilih, siapa yang nyuruh kuliah S2 coba?

Straight to the topic. Tesis yang lagi ku susun ini tentang perilaku ramah lingkungan. Awal mula, konon kisahnya, pada zaman dahulu kala, tema ini bukanlah pilihan topik tesisku. Tapi Setelah melalui proses panjang, bolak balik diskusi sama pembimbing yang Masya Allah luar biasanya, pilihan jatuh ke topik yang akhirnya ku sadari menjadi hal penting untuk di teliti. Apalagi di wilayah seperti Bogor, kota penyangga Ibu Kota.

Bogor adalah kota kecil yang cantik, tapi doi selalu disalahkan karena katanya gemar ngirim banjir ke Jakarta. Lah ya, bagaimana ya, wajar saja sih orang perilaku masyarakat disini gak ramah sama lingkungan. Buang sampah ke sungai semacam sudah jadi habit. Jika sudah begini, biasanya yang terjadi adalah mencari-cari pihak mana yang seharusnya bertangugng jawab.

Itu sekilas inti masalahnya girls. Ku yakin juga kalau perilaku masyarakat yang tidak ramah terhadap lingkungan bukan hanya terjadi di Kota Bogor, tapi di seluruh Indonesia. Anggap saja Bogor adalah perwakilan dari survey perilaku ramah lingkungan ini. Nah, terus solusinya bagaimana? Ini yang mau ku teliti. Tentang tentang proses komunikasi yang terjadi di masyarakat. Kalau kata Robert Cox dalam Environmental Communication, mengubah perilaku lingkungan suatu masyarakat itu harus dilakukan dengan mengubah persepsi masyarakat tentang lingkungannya. Banyak masyarakat yang belum sadar kalau lingkungan itu perlu dijaga. Biasanya masyarakat yang begini belum merasakan dampak kerusakan lingkungan tersebut.

Di Bogor misalnya, air masih banyak tersedia, banjir pun terjadi gak sering karena yang ujung-ujungnya yang merasakan banjir adalah di bagian hilir (Jakarta), jadi ancaman lingkungan belum begitu disadari. Persepsi ini berdampak dong ya pada pola perilaku lingkungan. Sah-sah saja buang sampah ke sungai, toh banjirnya juga yang merasakan bukan warga Bogor, mungkin begitu kali ya yang tertanam di benak masyarakat sini. Padahal, tanpa disadari, sungai yang kotor ujung-ujungnya berakibat pada biaya penyediaan air bersih. Semakin bersih sungai, semakin murah biaya PDAM untuk memberi air bersih. Semakin kotor sungai, maka akan semakin mahalpun biaya operasional PDAM untuk mengubah air sungai terkontaminasi jadi air yang bersih siap konsumsi.

Tapi kan kita gak pakai PDAM, kita pakainya sumur, jadi biaya gak mahal-mahal amat. Sumur ya juga sama saja, semakin terkontaminasi tanah dengan sampah, pengaruhnyapun semakin besar pada air sumur. Air sumur terkontaminasi ujung-ujungnya menyebab penyakit. Biaya lagi kan?

Disinilah tugas komunikasi lingkungan. Kata Prof. Flor, kita semua adalah komunikator lingkungan. Artinya, tidak peduli status, selagi kita memiiki kesadaran lingkungan, ajaklah tetangga atau anggota dalam komunitas kita untuk mencintai lingkungannya. Bisa dengan cara sederhana, misal, jangan membuang sampah ke sungai, memanfaatkan barang bekas. dan masih banyak bentuk perilaku ramah lingkungan yang lain.

Semoga tesis ini bermanfaat nantinya. Sudah ya, celotehnya cukup dulu. Mau cari makan.    
Share:
Continue Reading →

Gagal Paham

Beberapa kawan sering mengeluh tentang masalah yang tengah dihadapinya. Sampai-sampai ada yang dapat gelar ms/mr ngeluh saking seringnya mengeluh hehe. Dikit2 ngeluh, dikit2 bete,dikit2 galau. Oke, menurutku sih itu manusiawi, bahkan Ilahi Rabbi pun menyatakan manusia itu penuh dengan keluh dan kesah. Namanya juga manusia ya kaann, wajar, kita bukan malaikat. Tapi ya tapi, gak gitu-gitu juga laaah. Masa ia separuh hidup kita mau dipenuhi dengan keluh dan kesah, setiap hari malah, gak ada damai-damainya coba, capek dong ujung-ujungnya. Daaaan, yang paling penting buat dikoreksi adalah cara kita mengekspresikan keluhan itu. Ada yang sukanya main kode-kodean di sosmed, seakan manggil-manggil kawannya trus bilang “hei, aku lagi galau, hibur aku dong”, atau mungkin kode lainnya “aku lagi sedih, aku butuh sandaran”. Simbol-simbolnya kadang bikin pembaca geleng-geleng kepala. Ya kenapa atuh harus gitu, emang kita gak punya Allah?  Kemana rasa harap kita kepada sang Ilahi? Bukannya akan lebih damai menggelar sajadah lalu bersujud?

Masalah di dunia gak akan pernah selesai, karena kata Allah memang demikian. Dunia adalah tempat ujian untuk tahu siapa yang benar-benar beriman, atau siapa yang pada akhirnya lalai. Jadi wajar saja jika masalah tak kunjung usai, karena memang kita sedang berlatih. Berlatih menjadi pemenang atau jadi pecundang. Cara kita mempersepsikan masalah perlu dirubah. Masalahnya mah tetap ada, berganti jenis saja, masalah keluarga, ekonomi, pendidikan, de el el. Tapi cara kita memandang masalah kan kita yang atur. Cara kita berpikir, cara kita merasa. Itu persepsi yang ada dalam diri loh, bukan ditentukan oleh hal-hal lain diluar diri kita.
Masa ia kita nyerah sama masalah dan nyari penyelesaian ke tempat yang tidak seharusnya. Boleh lah ya kalo tempat ceritanya ke orang-orang terpercaya yang bisa ngasih “pertimbangan” jalan keluar. Lah ini, sosmed loh. Tempat dimana yang ada hanyalah maya. Atau malah kita cerita ke orang yang salah, dalam sekejap saja keluhan yang kita ceritakan menyebar luas dalam circle pertemanan. Lalu setelah itu kita tersadarkan kalau ternyata gak semua orang bisa jaga kepercayaan. Masih mau? Aku sih enggak. Dunia kejam kawan. Yang ngaku teman belum tentu bisa jaga kepercayaan. Yang katanya “gak akan bilang-bilang” banyak terbukti jadi ember. Tanya kenapa? Karena gak semua orang tahu apa itu arti kepercayaan.  Wis yo, iki mung celotehku kok.
Share:
Continue Reading →

Friday, September 14, 2018

Sebuah Fiksi; Sentuh Aku

Matahari menyinari langkah kakiku pagi ini. Lembut, selembut cinta Ilahi kepada makhluk-Nya. Ah, Allah, maafkan hamba jika pagi ini bukan senyuman manis yang kusajikan untuk para sahabat. Wajah sendu sisa tangis tadi malam masih tak bisa kusembunyikan. Seperti halnya tanda tanya dalam benak yang menghantui hidup selama hampir dua puluh tahun. Mengapa harus aku? Mengapa harus ibuku? Mengapa bukan orang lain? Ya Ilahi.., sudah kucari-cari memori kebaikan itu, namun sentuhan ibu yang kata orang-orang begitu lembut tidak terekam dengan baik dalam memori otakku. Satu-satunya kenangan yang tersisa antara aku dan ibuku adalah tentang kekerasan. Cacian tajam kala itu seperti masih terngiang-ngiang ditelinga. “dasar anak setan”, “binatang”. Atau tamparan keras yang melayang di pipi kanan dan kiri, pun masih sangat jelas terasa. Bukan hanya sakit di pipi, tapi terasa menusuk tajam kerelung jiwa, membuat hati ini terluka menganga.

Kata orang, kasih ibu tiada batasnya. Kata orang juga, buaian ibu itu penuh kelembutan, penuh kehangatan. Lalu, ada apa denganku? Disaat orang-orang memuja-muja sosok ibu, aku justru ingin berlari jauh untuk tidak berada dalam cengkraman kata-kata tajamnya, untuk dapat terhindar dari sakitnya tamparan tangannya. Berusaha ku simpan baik-baik kekosongan jiwa, berusaha ku tutup memori-memori tentang kekerasan ibu. Namun waktu selalu meminta kembali, memori kelam itu selalu meminta untuk diingat. Seringkali pada malam-malam yang terasa panjang dan gelap, air mata jatuh tak tertahan, mengalir sederas-derasnya sampai kering, hingga tubuh letih, lalu mentarilah yang menyadarku keesokan hari. Mengapa semua ini terjadi? apakah karena aku bukanlah anak yang diharapkan?

[bersambung]
Share:
Continue Reading →

Sunday, April 8, 2018

Mengapa saya Tarbiyah (3)

Sebelum berpanjang dan lebar, catatan penting dalam tulisan ini tentang penggunaan kata tarbiyah, bukanlah berdasarkan definisi bahasa arab atau definisi istilah berdasarkan literatur-literatur ilmiah. Tarbiyah dalam hal ini adalah apa yang saya alami, yang saya ikuti, yang saya jalani. Deal Ya

What Else?
Banyak sekali jika saya harus mendeskripsikan satu persatu manfaat apa yang sudah saya rasakan sejak pertama kali ikut tarbiyah. Untuk duka, sepertinya hampir tidak ada duka yang saya rasakan ketika ikut tarbiyah. Mungkin yang berat itu konsistensi ya. Sekedar sharing saja, biasanya yang menjadi tantangan tarbiyah itu adalah rasa malas. Biasanya karena alasan lokasi yang jauh. Hujan. Panas. Becek. Gak punya payung. Dan segala macamnya yang pada dasarnya masih bisa diupayakan. Jauh? Ya memang itu salah satu ujian, yang indah-indah itu butuh perjuangan. Hujan, panas, dan gak ada payung? Pinjam punya teman. Kalau alasannya adalah malas. Ya wassalam saja. Banyak-banyaklah beristigfar. Astagfirullah.

Tarbiyah itu selaras dan tidak hanya membahas soal individu saja. Penekanan utama dalam tarbiyah adalah bagaimana merubah diri sendiri. Namun, tarbiyah juga membangun kepedulian terhadap ummat. Kita tidak mau masuk surga sendirian, bukan?

Kalau diuraikan berdasarkan pemahaman (saya), mungkin skemanya begini ya. Tarbiyah merupakan salah satu sarana untuk belajar tentang islam secara lebih mendalam. Pemahaman tentang islam yang baik akan terinternalisasi kedalam diri kita secara individu dan berujung pada kesadaran untuk merubah perilaku sesuai dengan nilai-nilai islam. Tentunya perilaku ini tidak hanya akan berefek pada level invidu semata, tetapi juga akan membawa pengaruh pada lingkungan yang lebih luas seperti keluarga, masyarakat sekitar, bahkan memberikan pengaruh pada masyarakat global. Jika skema ini berjalan dengan baik dan terus menerus. Maka yakinlah bahwa kejayaan islam akan mudah diraih. Oh ya, Kejayaan islam bukan berarti meniadakan kepercayaan yang lain. Islam itu damai dan mendamaikan. Islam itu menghargai perbedaan dengan cara yang bijak. Islam itu menangungi. Jangan takut dengan islam.

Sudah ya, banyak sekali kalau mau merumuskan dan menjelaskan tentang tarbiyah. Sepertinya tidak akan cukup dalam tiga edisi. Butuh berhalaman-halaman kalimat untuk mendeskripsikan mengapa saya memilih tarbiyah, haha. Mungkin sebagai closing statement; dunia saat ini sepertinya sudah mau kiamat ya, hiruk pikuk dunia semakin menjadi. Orang-orang sibuk dengan mengejar prestasi dunia namun lupa kemana jalan pulang dan kepada apa ia akan kembali. Orang-orang saat ini sibuk dengan memperkaya diri, dan tak ingat bahwa banyak masyarakat miskin yang perlu di santuni. Orang - orang mungkin lupa bahwa kebahagiaan hakiki adalah ketika dapat melihat wajah Allah di surga nanti. Ya, dunia semakin parah, masalah sosial merajalela. Siapa lagi yang akan memperbaiki kalau bukan kita? Tarbiyahlah, karena memperbaiki diri sendiri berarti kita sedang memperbaiki ummat.
Tuuu kan banyak nulisnya. Intinya begitulah pokoknya. Mari jadikan tarbiyah sebagai jalan hidup.

Sudah ya.
Semoga kita bertemu di ruang yang nyata
[Ega]
Share:
Continue Reading →

Mengapa saya Tarbiyah (2)

Sebelum berpanjang dan lebar, catatan penting dalam tulisan ini tentang penggunaan kata tarbiyah, bukanlah berdasarkan definisi bahasa arab atau definisi istilah berdasarkan literatur-literatur ilmiah. Tarbiyah dalam hal ini adalah apa yang saya alami, yang saya ikuti, yang saya jalani. Deal Ya

Tarbiyah dan Perubahan Sosial; Judulnya Kok Berat Ya
Oke. Dari sekian cara belajar yang pernah saya ikuti, dari sekian komunitas yang pernah saya masuki, semua menawarkan kebaikan. Semua menawarkan kejayaan islam. Tapi wallahu’alam. Yang tidak pernah bisa saya lupakan adalah gerakan Tarbiyah ini. Saya tidak memungkiri bahwa dari Tarbiyahlah saya menyadari pentingnya mempelajari islam. Dari Tarbiyah juga saya mulai sedikit demi sedikit menghafal Alqur’an. Tarbiyah mengajarkan saya tentang pentingnya merubah diri sendiri dulu sebelum berupaya merubah orang lain. Mengapa saya memilih tarbiyah juga sesuai dengan teori-teori ilmu sosial yang saya pelajari di sekolah-sekolah dan bangku kuliah. Bahwa perubahan (red-perubahan sosial) itu memiliki level tertentu dan salah satunya dimulai dengan merubah perilaku indvividunya (Individual Behavior). Lebih jelasnya, suatu saat akan saya jelaskan dari perspektif teori komunikasi inovasi ya, kebetulan tesis saya tentang itu.

Apa benar tarbiyah dapat merubah perilaku individu dan akhirnya dapat merubah masyarakat?
Well, Tarbiyah, dalam praktik yang saya ikuti adalah berkumpulnya beberapa orang (biasanya 5 sampai 10 orang) untuk sama-sama belajar tentang islam. Materi diskusi disampaikan oleh salah seorang ustazah/ustadz. Btw, Kelompok tarbiyah itu terpisah, kelompok laki-laki akan dibimbing oleh ustadz, dan untuk kelompok perempuan akan dibina oleh ustadzah. Pertemuan diadakan setiap pekan dengan materi yang berbeda namun continue. Arti continue dalam hal ini adalah materinya bersambung dan memiliki tingkatan. Yang paling mendasar dan pertama kali diajarkan salah satunya tentang pentingnya menuntut ilmu agama. Jadi, agar aktivitas tarbiyah kita memiliki nilai dan bermakna, kita harus menyadari bahwa belajar ilmu islam itu adalah penting. Sehingga niat untuk ikut kelompok tarbiyahpun bukan sekedar ikut-ikutan tanpa alasan yang jelas. Tapi benar-benar dilandasi kesadaran bahwa menuntut ilmu itu penting dan wajib untuk setiap muslim dan muslimah.

Tarbiyah tidak sesaklek atau sekaku yang kadang-kadang dibayangkan oleh sebagian orang. Teman-teman yang tergabung dalam komunitas tarbiyahpun manusia biasa, bukan para dewi. Pembahasan yang dipelajari juga seputar kehidupan sehari-hari seperti aktivitas di sekolah, kampus, bagaimana memperbaiki hubungan dengan manusia, bagaimana memperbaiki hubungan dengan Allah, dan juga bagaimana seharusnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua. Iklim komunikasi yang dibangun saat pertemuan tarbiyah ini sangat cair. Setiap orang bisa saja menceritakan apapun masalahnya kedalam forum untuk dicarikan solusi bersama. Setiap orang bisa bertanya, dan setiap orangpun dapat dengan mudah memberikan pendapatnya.

Tarbiyah bagi saya pribadi adalah refleksi diri, dan proses dialog dengan saudara se kelompok tarbiyah. Refleksi dalam hal ini adalah bermuhasabah, apakah diri sudah menjalankan hal-hal yang dipelajari dalam tarbiyah atau jangan-jangan semua ilmu yang diperoleh hanya sambil lalu saja? Tarbiyah adalah sarana berdialog dengan sesama saudara. Saling mengingatkan dan saling berbagi pengetahuan. Tarbiyah, adalah momentum untuk menyirami hati yang gersang setelah selama enam hari sebelumnya disibukkan dengan urusan-urusan yang mengeluarkan banyak energi dan menguras emosi.

Menghadiri pertemuan Tarbiyah bagi saya adalah jeda mengistirahatkan hati dari hiruk pikuk dunia. Untuk menata langkah yang mungkin sempat goyah. Untuk mengembalikan energi positif yang hampir habis selama satu pekan. Tarbiyah adalah sarana perekat hati atas nama islam. Sarana untuk melembutkan hati dari keegoisan. Tarbiyah adalah jembatan perekat ukhuwah. Bukankah suatu kebahagiaan ketika kita bisa berbagi solusi pada saudara yang tengah dirundung masalah hidup? Bukankah suatu kesenangan hati ketika kita duduk dan saling berlapang dada dalam majelis tarbiyah tanpa ada yang merasa lebih pintar? Itulah yang dalam ilmu sosial kita sebut dengan humanis. Memanusiakan manusia, menghargai manusia, memperlakukan manusia selayaknya ia diperlakukan.

Tarbiyah juga sarana berlatih berbagai hal. Yang dulunya malu-malu untuk sekedar menyampaikan opini, menjadi tidak malu-malu. Tarbiyah memfasilitasi seseorang untuk belajar. Btw, dalam tarbiyah ada sesi kultum bergantian setiap pekan. Biasanya diambil dari buku-buku bacaan. Oh ya, katanya ada kesan kalau yang ikut tarbiyah itu kuno, gak seru, tempatnya pun dimasjid, gak bosen kah? Ya sebenarnya gak ada ketentuan pertemuan tarbiyah itu harus di masjid, kadang-kadang kami pindah lokasi juga di rumah fulanah, sesekali kami belajar di taman. Tarbiyah tidak sekaku yang dibayangkan orang-orang kebanyakan. Tarbiyah itu terbuka untuk semua kalangan. Teman-teman saya di tarbiyah tidak melulu anak kampus. Ada yang sudah kerja. Ada yang sedang mondok. Ada yang sedang S3. Ada yang sedang S1. Sangat bervariasi, karena memang perbedaan itu bukan halangan. Modal untuk ikut tarbiyah itu tidak banyak. Cukup niat yang kuat dan just do it.

Continue: http://megaflasinta.blogspot.com/2018/04/mengapa-saya-tarbiyah-3.html
Share:
Continue Reading →

Mengapa Saya Tarbiyah (1)?

Sebelum berpanjang dan lebar, penggunaan kata tarbiyah, bukanlah berdasarkan definisi bahasa arab atau definisi istilah berdasarkan literatur-literatur ilmiah. Tarbiyah dalam hal ini adalah apa yang saya alami, yang saya ikuti, yang saya jalani. Deal Ya

Sudah lama saya mengenal Tarbiyah. Kalau tidak salah ingat, sudah sejak tahun 2006/2007. Saat saya sedang manis-manisnya duduk di bangku SMA. Aha ya, tepatnya saat kelas 2 SMA. Saya pertama kali ikut tarbiyah karena sekedar tertarik begitu saja. Tidak dipungkiri, kakak saya adalah pelopor dalam keluarga kami yang lebih intens belajar tentang islam. Maklum, Ayah dan Ibu saya bukanlah dari kalangan ulama atau ustadz. Keluarga kami adalah keluarga sederhana yang biasa-biasa saja. Yang menjalankan agama islam dengan biasa-biasa saja.

Ayah dan Ibu saya tidak mendorong anak-anaknya untuk memperdalam ilmu agama, karena memang pemahaman keluarga kami saat itu ya sangat terbatas. Yang penting kami menjalankan rukun iman dan rukun islam serta tidak melakukan larangan-larangan agama seperti meminum alkhohol, tidak solat, atau ikut-ikutan dalam pergaulan bebas ala anak muda zaman sekarang. Orang tua saya hanya menekankan untuk terus belajar dan menuntut ilmu (SD-SMP-SMA-S1-S2 dan seterusnya, xixixi), serta jangan pernah takut untuk merantau. Makannya sampai sekarangpun saya masih hidup diperantauan. Haha.

Well. Saya mulai sedikit-sedikit belajar tentang islam dari kakak saya. Ia mengenalkan banyak gerakan yang sama-sama berjuang untuk islam. Ada banyak gerakan islam yang sama-sama berkonsentrasi untuk memberikan pemahaman tentang islam kepada masyarakat. Semua memiliki tujuan yang sama, untuk kejayaan islam, meskipun cara yang di tempuh adalah saling berbeda.
Ada yang mengenalkan islam melalui isu-isu khilafahnya. Ada yang mengenalkan islam melalui komunitas Liqonya, ada yang melalui ta’lim-ta’limnya, dan ada juga melalui gerakan tarbiyahnya. Beberapa diantaranya pernah saya ikuti, mulai dari gerakan pelajar islam, gerakan mahasiswa islam, sempat bergabung dalam kajian isu-isu khilafah, pernah juga dengan teman-teman satu halaqah, dengan ta’lim, dan yang terakhir adalah dengan gerakan Tarbiyah.

Singkat cerita, meskipun saya sudah -ter tarbiyah- sejak SMA, ternyata konsistensi itu berat, Dilan saja mungkin tak akan sanggup, haha. Hanya orang-orang terpilih yang bisa konsisten dengan yang namanya tarbiyah. Saya berpindah dari Luwuk ke Semarang, dari Semarang ke Jogja, dan dari Jogja ke Bogor, (dan setelah dari Bogor entah kemana lagi). Tempat saya belajar islampun berpindah-pindah. Namanya juga ababil dan galau, sukanya yang berbeda. Sukanya adalah coba-coba. Termasuk dalam mencari tempat untuk belajar agama. Astagfirullah, bagian ini jangan di tiru ya, konsisten itu perlu. 

Continue: http://megaflasinta.blogspot.co.id/2018/04/mengapa-saya-tarbiyah-2.html
Share:
Continue Reading →

Friday, March 30, 2018

Menikmati Episode Hidup


Lama sekali jari jemari tidak menari bersama imaji. Ada apa gerangan? Ah ya, tidak ada apa-apa. Hanya sedang menikmati episode-episode kehidupan yang terus bergulir, dalam diam.

Tentang episode hidup, kita harusnya belajar pada mereka-mereka yang lebih dulu merasakan asam manis dan pahit perih kehidupan. Pilih satu orang, lalu ambil pelajaran darinya. Pilih lagi orang lain, lalu belajar darinya. Pun, termasuk belajar dari episode kehidupan kita sendiri. Begitulah seterusnya. Bukankah ayat pertama yang Allah turunkan adalah membaca?
bukan hanya yang tersurat, tapi juga yang tersirat.   

Saya memilih sosok Ibu sebagai sekolah pertama. Saya pikir semua orang akan mengatakan hal yang sama, bahwa Ibu adalah madrasah Pertama. Dari Ibu saya belajar bagaimana tersenyum, bagaimana menangis, merasa sedih, memberikan tanda ketika lapar, memberikan tanda kepanasan karena keringat di badan, memberi tanda bahwa sebenarnya yang saya butuhkan bukanlah makanan melainkan pelukan. Saya juga mulai belajar bagaimana memanggil mama, papa, lalu menyebut satu persatu nama anggota keluarga kami. Hingga sampai saat ini saya tidak mengalami kesulitan dalam berbicara. Besar sekali peran Ibu dalam kemampuan bersosialisasi saya saat ini.  

Ibu juga yang mengajarkan bagaimana agar menghormati orang tua. Bagaimana mendoakan mereka dalam setiap solat. Ibu mengajarkan mengaji. Ibu mengajarkan membaca. Ibu juga yang menemani saya mengerjakan PR hingga larut malam. Ibu yang mengajarkan saya untuk berprestasi. Ibu yang mengajarkan saya bagaimana caranya belajar, mengatur waktu, membuat jadwal harian. Lewat ibulah saya bisa merasakan bagaimana dibelai itu menenangkan, dipeluk itu membahagiakan, dipercayai itu menguatkan.

Saya juga belajar hal-hal sederhana seperti mengikat tali sepatu, meletakkan sepatu pada tempatnya setelah pulang sekolah, mencuci baju, menyetrika, menyisir rambut, menanak nasi, memasak air, memasak sayur tumis, membuatkan ayah teh hangat sepulangnya dari kebun belakang rumah.

Ya, terlalu banyak hal yang saya pelajari bersama Ibu. Setiap orang akan berbeda memaknainya. Saya memaknai perihal-perihal sederhana itu sebagai tugas berat seorang Ibu. Karena lewat hal-hal sederhana itulah pencapaian yang lebih tinggi dapat saya raih. Dan, Ibu saya adalah perempuan yang telah berhasil mengajarkan banyak hal. Dari yang sangat sederhana dan juga yang sangat rumit. Tentang apapun yang berkaitan dengan kehidupan.

Mari kita sebut setiap yang terjadi dalam hidup ini sebagai sebuah episode. Dan, Ibu saya rupanya adalah orang yang berani memilih episodenya sendiri. Waktu itu beliau belum lama menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagai perempuan yang lahir dari keluarga pas-pasan, tentunya Ibu saya tidak memiliki banyak biaya untuk melanjutkan kuliah seperti orang kebanyakan. Maka bekerja adalah pilihan yang tepat untuknya saat itu. Bekerja, berdagang, membantu keluarga, adalah hal yang sangat biasa bagi Ibu saya. Tak heran, Ibu saya adalah yatim sejak kecil, kakek saya meninggal saat Ibu masih di usia SD. Sebagai anak yang paling manja, kehilangan ayah saat umur beliau masih sangat kecil tentu adalah hal yang ridak mudah. Kondisi nenek saya saat itupun sangat pas-pasan untuk membesarkan 8 saudara Ibu. Maka, mandiri adalah tuntan untuk semua anak-anak nenek, termasuk Ibu saya waktu itu. Kondisi yang serba terbatas pada akhirnya membentuk Ibu saya tumbuh menjadi anak yang mandiri. 

Suatu ketika, muncullah keinginan Ibu saya untuk melanjutkan kuliah. Mungkin saat itu telah ada sedikit biaya yang cukup untuk melanjutkan sekolah. Namun, disaat yang bersamaan Ayah saya datang menemui nenek dan melamar Ibu. Merekapun menikah. Ibu saya waktu itu masih tetap kekeuh ingin meneruskan kuliah. Namun, ayah saya menawarkan pilihan untuk tetap fokus saja bekerja di rumah dan mendidik anak-anak, termasuk saya tentunya.

Ya, disinilah satu episode dipilih. Saat ada mimpi yang dikorbankan untuk kepentingan orang lain. Saat keinginan diri sendiri harus dikalahkan atas nama tugas mulia mendidik anak-anak. Bukankah itu adalah keputusan yang berani? Bagi saya itu berat, bahkan Dilanpun tak akan kuat. Tapi, keberanian Ibu saya mengajarkan beribu makna. Bahwa tidak semua keinginan kita harus terpenuhi. Tidak semua mimpi kita harus tercapai. Apapun yang terjadi, kunci yang paling utama adalah adanya rasa ikhlas dalam menjalani episode-episode kehidupan itu. Tanpa pamrih, tanpa mengeluh. Karena untuk urusan dunia, sering-seringlah melihat kebawah. Masih banyak anak yang tidak merasakan kebahagiaan seperti yang (kita) rasakan saat ini.

Pesan Ibu saya; Tidak perlu berambisi dengan dunia, karena semakin dikejar akan semakin melelahkan. Jangan memikirkan hidup orang lain, hiduplah menjadi diri sendiri dan berbuat baiklah. Jika ada orang yang jahat, biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah. Ikhlaslah dalam menjalani episode kehidupan yang ditentukan Allah. Selain ikhlas, tanamkanlah keyakinan dalam setiap langkah kebaikan yang hendak dan sedang (kamu) jalani.

Ah ya, bagi saya sosok Ibu dan pelajaran-pelajaran darinya adalah hal yang sangat bermakna. Meski beliau tidak pernah mencicipi bangku kuliah. Tapi episode kehidupan, asam manis, dan pahit perih kehidupannya menurut saya adalah pelajaran berharga yang tidak semua orang memilikinya.

Oh Ya, satu lagi dari Ibu saya
"Kamu akan benar-benar bisa merasakan betapa cintanya Ibumu ke anaknya ketika kamu berada pada posisi yang sama, menjadi Ibu bagi anak-anakmu"

[Semoga kita bertemu di ruang nyata ~ Ega] 
Share:
Continue Reading →