Matahari menyinari langkah kakiku pagi ini. Lembut, selembut cinta Ilahi kepada makhluk-Nya. Ah, Allah, maafkan hamba jika pagi ini bukan senyuman manis yang kusajikan untuk para sahabat. Wajah sendu sisa tangis tadi malam masih tak bisa kusembunyikan. Seperti halnya tanda tanya dalam benak yang menghantui hidup selama hampir dua puluh tahun. Mengapa harus aku? Mengapa harus ibuku? Mengapa bukan orang lain? Ya Ilahi.., sudah kucari-cari memori kebaikan itu, namun sentuhan ibu yang kata orang-orang begitu lembut tidak terekam dengan baik dalam memori otakku. Satu-satunya kenangan yang tersisa antara aku dan ibuku adalah tentang kekerasan. Cacian tajam kala itu seperti masih terngiang-ngiang ditelinga. “dasar anak setan”, “binatang”. Atau tamparan keras yang melayang di pipi kanan dan kiri, pun masih sangat jelas terasa. Bukan hanya sakit di pipi, tapi terasa menusuk tajam kerelung jiwa, membuat hati ini terluka menganga.
Kata orang, kasih ibu tiada batasnya. Kata orang juga, buaian ibu itu penuh kelembutan, penuh kehangatan. Lalu, ada apa denganku? Disaat orang-orang memuja-muja sosok ibu, aku justru ingin berlari jauh untuk tidak berada dalam cengkraman kata-kata tajamnya, untuk dapat terhindar dari sakitnya tamparan tangannya. Berusaha ku simpan baik-baik kekosongan jiwa, berusaha ku tutup memori-memori tentang kekerasan ibu. Namun waktu selalu meminta kembali, memori kelam itu selalu meminta untuk diingat. Seringkali pada malam-malam yang terasa panjang dan gelap, air mata jatuh tak tertahan, mengalir sederas-derasnya sampai kering, hingga tubuh letih, lalu mentarilah yang menyadarku keesokan hari. Mengapa semua ini terjadi? apakah karena aku bukanlah anak yang diharapkan?
[bersambung]
Hikss hikss..lanjutkannn..mbak...q mnyimak...hee
ReplyDeleteHikss hikss..lanjutkannn..mbak...q mnyimak...hee
ReplyDeleteThanks alot Mba udah mampir.., semoga ponakanku dan ibunya sehat2 ya, heheheh
ReplyDelete