Baru saja Indonesia digemparkan dengan berita kematian suporter bola, lalu sore ini berita bencana gempa di Sulteng semakin membuat duka. WAGrup yang biasanya sepi-sepi saja tiba-tiba ramai dengan informasi gempa. Ada yang menyebar video, ada yang saling menanyakan kabar, dan berbagai macam ekspresi lainnya. Semua terekam melalui dunia maya, lewat media.
Sebagai perantau dari Sulteng, saya memilih untuk tidak panik terlebih dahulu, berusaha berpikiran positif lalu membaca informasi dengan tenang dan teliti. Tentunya informasi pertama yang saya cari adalah dimana pusat gempanya? Berapa kekuatannya? dan yang paling penting apakah keluarga saya di Sulteng baik-baik saja? Atau malah terkena dampak?
Sangat cepat mendapatkan informasi pusat gempa, ternyata cukup jauh dari rumah tempat tinggal ayah dan ibu. Meski tak ada kabar dari mereka melalui WAGroup ataupun telpon dan SMS, setidaknya kabar dari beberapa kawan di kampung membuat sedikit kelegaan, terlebih lagi kabar dari adik yang tinggalnya di kabupaten tetanggapun mengabarkan bahwa semua baik-baik saja, katanya, “disini hanya sedikit getarannya”. Segala puji bagi Allah.
Lega rasanya, namun kejadian ini sungguh menggelitik hati dan pikiran saya, seperti benang-benang yang saling berkelindan. Susah untuk diurai. Hati sedih karena informasi dalam WAGroup menampilkan video-video dan cerita-cerita menyedihkan yang membuat hati pilu. Ada perasaan takut jika tiba-tiba gempa pada akhirnya melanda kampung halaman. Sementara pikiran berkecamuk karena dampak bencana seharusnya dapat diminimalisir.
Memori saat saya duduk di kelas 4 SD silam tiba-tiba muncul. Menggambarkan kembali situasi saat itu, kalau tidak salah tepat dihari Kamis sekitar pukul 12.00 WITA. Siang itu, kursi dan meja murid masih tertata rapi saat mata pelajaran sedang berlangsung. Lalu suara gemuruh disertai guncangan hebat datang menghampiri kami. Luluh lantak. Manusia berhamburan ke tanah lapang dengan tangis dan suara teriakan histeris. Anak-anak mencari ibunya. Ayah Ibu mencari anaknya. Ada korban meninggal. Ada korban luka. Ada rumah yang rata dengan tanah, masih juga ada berdiri kokoh dengan sedikit retak. Waktu itu, tanah lapang yang sepi dipenuhi manusia. Masing-masing memuji nama Allah. Keluarga saya masih dilindungi. Alhamdulillah lengkap.
Tapi ketakutan menghampiri kami. Malam itu warga di desa (termasuk keluarga saya) mengungsi ke ketinggian, takut-takut jika terjadi tsunami. Malam kami dingin, hujan dan petir adalah kawan kami, datang silih berganti. Ayah ibu rela tak tidur untuk menghadirkan rasa aman kepada anak-anaknya. Ah ya, saya akhirnya hidup di pengungsian, tidak sekolah. Hanya bermain. Dan kita tidur di tenda selama kurang lebih tiga bulan. Tapi itu sudah terlewati. Sempat memori ini muncul kembali secara samar-samar saat saudara di Lombok merasakan hal yang sama. Namun sore hingga malam ini, memori itu jelas, mungkin karena saya memang sengaja menghadirkannya kembali. Ah, sudahlah.
***Rabbi. Ampuni kami jika kami terlalu melampaui batas-batas perilaku yang seharusnya. Ampuni kami jika kami begitu terlena dengan dunia. Inikah isyarat-Mu. Bahwa bumi kita sudah tua, dan kita (manusia) selalu terlambat. Izinkan kami untuk memperbaiki apa-apa yang dapat kami perbaiki. Hati, pikiran, perasaan, dan tentunya perilaku. ***
Baru saja tadi pagi saya menyimak kembali video ILC tentang kematian suporter Persija. Baru saja tadi pagi saya membaca tentang komunikasi resiko (risk communication) dalam komunikasi lingkungan. Kata Prof. Flor (sang penulis), kita selalu terlambat dalam menghadapi bencana. Seringkali “sesuatu” itu kita lakukan setelah merasakan dampak negatifnya. Contoh saja kematian suporter persija, haruskan menunggu ada nyawa yang hilang lalu semua pihak ramai bicara dan duduk bersama? Dalam kasus gempa, haruskan ada rumah-rumah warga luluh lantak dulu agar kita sadar lalu membangun sistem?
Ya, bahwa kejadian bencana memang ditangan Allah, saya yakin itu. Namun manusia dengan kapasitas (capacity) yang dimilikinya seharusnya mampu “meminimalisir” dampak bencana. Dalam perspektif komunikasi, inilah tugas komunikator lingkungan untuk melakukan komunikasi resiko. Komunikator lingkungan adalah semua pihak. Komunitas lokal, pemerintah, organisasi non pemerintah, termasuk didalamnya media.
Ada tiga jenis komunikasi resiko yang perlu dilakukan. Sebelum bencana terjadi, saat bencana terjadi, dan setelah bencana terjadi. Komunikasi lingkungan, –termasuk didalamnya komunikasi resiko bencana– adalah tentang mendidik (educate), memperingatkan (alert), mempengaruhi (persuade), dan menggerakkan (mobilize) agar dampak bencana dapat diminimalisir oleh siapapun yang merasa bertanggungjawab. Lalu kira-kira, kita (dalam posisinya masing-masing) sudah melakukan apa untuk meminimalisir dampak becana tersebut? atau, apa yang kita lakukan sebelum, saat, atau setelah bencana terjadi?
Kita tidak ingin berpangku tangan bukan? Sistem peringatan dini (early warning system) terkait gempa di Indonesia memang masih sangat minim (bahkan belum terbangun dan terintegrasi dengan teknologi, kebijakan, dll). Namun, komunikasi yang kita lakukan pada dasarnya adalah alat untuk membentuk sistem tersebut.
Saat bencana terjadi, "kita" dapat berperan bijak dengan tidak menyebarkan informasi yang kebenarannya masih dipertanyan. “Kita” dapat mengambil peran dengan tidak mendramatisi keadaan sehingga terlihat semakin menyedihkan. "Kita" pun dapat berperan bijak dengan tidak serta merta bertanya kepada orang-orang yang berada dilokasi dengan “ribuan” pertanyaan yang sebenarnya membuat mereka semakin panik.
“Kita” dapat menjadi menjadi bijak untuk tidak terlalu ramai berkoar-koar di dunia maya dan tidak menggunakan bahasa-bahasa apokaliptik (apocaliptic) yang cenderung melebih-lebihkan keadaan. Dan tentunya masih banyak peran “kita” yang dapat dilakukan dengan bijak, dengan baik. Dan yang paling penting adalah “Kita perlu sama-sama membangun sistem peringatan dini terkait bencana di negara ini, kolaborasi antar aktor dan tentunya komunitas lokal setempat dengan kearifan lokal yang dimilikinya”.
Jangan menambah kepanikan dengan keributan di sosial media. Cukupkan informasinya. Pikirkan peran apa yang harus dimainkan. Dan lakukan.
Maafkan celotehan ini
0 komentar:
Post a Comment