Friday, September 21, 2018

Tesis

Hai girls, dulu aku sempat nulis di blog, kalo suatu saat bakalan nyeritain tentang tesis lewat blog. Haha, ya gak penting-penting juga sih tesisku ini. Buktinya belum kelar-kelar. Ibarat padi, kayaknya sudah sampe panen kali ini tesis belum juga kelar. Tapi gak apa-apa lah ya. Hitung-hitung berbagi pengalaman dan suka duka. Sore ini sepertinya waktu yang tepat buat cerita tesis. Semoga yang sedang tesis macam saya semangatnya gak pernah kendor, karena ini adalah satu tangga kehidupan yang kita pilih, siapa yang nyuruh kuliah S2 coba?

Straight to the topic. Tesis yang lagi ku susun ini tentang perilaku ramah lingkungan. Awal mula, konon kisahnya, pada zaman dahulu kala, tema ini bukanlah pilihan topik tesisku. Tapi Setelah melalui proses panjang, bolak balik diskusi sama pembimbing yang Masya Allah luar biasanya, pilihan jatuh ke topik yang akhirnya ku sadari menjadi hal penting untuk di teliti. Apalagi di wilayah seperti Bogor, kota penyangga Ibu Kota.

Bogor adalah kota kecil yang cantik, tapi doi selalu disalahkan karena katanya gemar ngirim banjir ke Jakarta. Lah ya, bagaimana ya, wajar saja sih orang perilaku masyarakat disini gak ramah sama lingkungan. Buang sampah ke sungai semacam sudah jadi habit. Jika sudah begini, biasanya yang terjadi adalah mencari-cari pihak mana yang seharusnya bertangugng jawab.

Itu sekilas inti masalahnya girls. Ku yakin juga kalau perilaku masyarakat yang tidak ramah terhadap lingkungan bukan hanya terjadi di Kota Bogor, tapi di seluruh Indonesia. Anggap saja Bogor adalah perwakilan dari survey perilaku ramah lingkungan ini. Nah, terus solusinya bagaimana? Ini yang mau ku teliti. Tentang tentang proses komunikasi yang terjadi di masyarakat. Kalau kata Robert Cox dalam Environmental Communication, mengubah perilaku lingkungan suatu masyarakat itu harus dilakukan dengan mengubah persepsi masyarakat tentang lingkungannya. Banyak masyarakat yang belum sadar kalau lingkungan itu perlu dijaga. Biasanya masyarakat yang begini belum merasakan dampak kerusakan lingkungan tersebut.

Di Bogor misalnya, air masih banyak tersedia, banjir pun terjadi gak sering karena yang ujung-ujungnya yang merasakan banjir adalah di bagian hilir (Jakarta), jadi ancaman lingkungan belum begitu disadari. Persepsi ini berdampak dong ya pada pola perilaku lingkungan. Sah-sah saja buang sampah ke sungai, toh banjirnya juga yang merasakan bukan warga Bogor, mungkin begitu kali ya yang tertanam di benak masyarakat sini. Padahal, tanpa disadari, sungai yang kotor ujung-ujungnya berakibat pada biaya penyediaan air bersih. Semakin bersih sungai, semakin murah biaya PDAM untuk memberi air bersih. Semakin kotor sungai, maka akan semakin mahalpun biaya operasional PDAM untuk mengubah air sungai terkontaminasi jadi air yang bersih siap konsumsi.

Tapi kan kita gak pakai PDAM, kita pakainya sumur, jadi biaya gak mahal-mahal amat. Sumur ya juga sama saja, semakin terkontaminasi tanah dengan sampah, pengaruhnyapun semakin besar pada air sumur. Air sumur terkontaminasi ujung-ujungnya menyebab penyakit. Biaya lagi kan?

Disinilah tugas komunikasi lingkungan. Kata Prof. Flor, kita semua adalah komunikator lingkungan. Artinya, tidak peduli status, selagi kita memiiki kesadaran lingkungan, ajaklah tetangga atau anggota dalam komunitas kita untuk mencintai lingkungannya. Bisa dengan cara sederhana, misal, jangan membuang sampah ke sungai, memanfaatkan barang bekas. dan masih banyak bentuk perilaku ramah lingkungan yang lain.

Semoga tesis ini bermanfaat nantinya. Sudah ya, celotehnya cukup dulu. Mau cari makan.    
Share:

4 comments: