Tuesday, September 29, 2020

Mempersiapkan Kematian

"Mempersiapkan kematian", adalah frasa yang harus kita ingat-ingat agar hidup ini memiliki tujuan dan tidak hanya menjadi aktifitas kosong tanpa makna. Mempersiapkan kematian adalah hal yang mudah diucap, namun untuk menjadikannya tetap tertanam dalam hati itu butuh usaha ekstra. Dunia memang melenakan, maka benarlah ia disebut sebagai tempat ujian. Kadang kita terlalu berambisi dalam beberapa hal didunia ini seperti karir yang baik, jodoh yang sejiwa, rumah yang nyaman, dan lain hal lainnya yang sungguh semua itu hanyalah semu. 

Salim A Fillah dalam bukunya Lapis-lapis Kerbekahan menulis "bahagia adalah kata paling menyihir dalam hidup manusia. Jiwa merinduinya. Akal mengharapinya. Raga mengejarnya. Tapi kebahagiaan adalah goda yang tega. Ia bayangan yang melipir jika difikir, lari jika dicari, tak tentu jika diburu, melesat jika ditangkap, menghilang jika dihadang. Di nanar mata yang tak menjumpa bahagia; insan lain tampak lebih cerah. Di denging telinga yang tak menyibak bahagia; insan lain terdengar lebih ceria. Di gerisik hati yang tak merasa bahagia; insan lain berkilau bercahaya. Jika bahagia dijadikan tujuan, kita akan luput menikmatinya sepanjang perjalanan. Bahwa jika bahagia dijadikan cita, kita akan kehilangan ia sebagai rasa.Bahwa jika bahagia dijadikan tugas jiwa, kita akan melalaikan kewajiban sebagai hamba. Bahwa jika bahagia dijadikan tema besar kehidupan, kita bisa kehilangan ia setelah kematian".   

Jadi, mari ingat kembali bahwa dunia hanyalah semu. Ia bagaikan mimpi singkat saat kita sedang tertidur. Semoga kita tidak lupa bahwa tugas didunia ini bukan untuk bahagia, tetapi mempersiapkan kematian sebaik mungkin hingga bahagia hakiki dapat kita jumpa, yakni saat disurga. Aamiin. 
Share:
Continue Reading →

Sunday, September 13, 2020

Teach Like Finland (5/5)

Bismillah. Assalamu'alaikum. Halo teman baik, semoga sehat ya. 
Beberapa hari aja gak nulis kok berasa udah lama banget ya. Uh, padahal masih ada satu bagian terakhir dari bukunya Timothy D Walker Teach Like Finland yang belum saya ulas.

Well well well, ada yang masih ingat kah? Lima hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran? Ya, kesejahteraan, rasa dimiliki, kemandirian, penguasaan, dan yang terakhir adalah pola pikir. Terkait dengan poin pola pikir, Walker mengacu pada hasil penelitian tentang kebahagiaan yang dibagi kedalam dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah scarcity-minded (menekankan pada kelangkaan) dimana kebahagiaan itu terletak pada "kemenangan saya adalah kekalahan bagi anda", pendekatan ini akan berakhir pada seseorang yang terjatuh dalam perbandingan sosial. Sementara pendekatan kedua adalah abundance-oriented (berorientasi pada kelimpahan), dimana ada ruang bagi setiap orang untuk tumbuh. 

Menurut Walker, pengajar di sekolah-sekolah Finlandia adalah para penganut abundance-oriented yang membiarkan setiap orang bertumbuh. Hal ini terlihat dari banyaknya bentuk kolaborasi yang dilakukan para guru dengan tanpa adanya rasa "enggan" dalam melakukannya, dan tentunya dijalankan dengan rasa bahagia. Di Finlandia, Walker tidak pernah mengetahui ada sebutan "master guru", artinya, tidak ada penyematan senioritas dalam pembelajaran di Finlandia. 

Walker menulis beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan dan membina abundance-oriented dalam pengajaran. Salah satu caranya adalah dengan mencari flow. Ya..., Let it flow, biarkan semuanya mengalir. Salah satu hal penting dalam tips ini adalah memangkas budaya persaingan. Dengan tidak adanya persaingan, setiap orang akan lebih menikmati proses yang ia jalani, akan lebih fokus, dan tentunya lebih menikmati proses pembelajaran yang diikutinya. 

Strategi kedua dalam membina abundance-oriented adalah dengan sikap berkulit tebal. Walker diberi saran oleh mentornya di Finlandia untuk tidak terus-terusan membahagiakan orang tua atau wali murid. Mentor tersebut menyarankan demikian karena mengamati Walker yang cenderung selalu berusaha memenuhi permintaan orang tua siswanya. Padahal menurut mentor tersebut, hal itu tidak perlu karena pada dasarnya posisi guru dan orang tua adalah sama, tempatnya saja yang berbeda. Mentor tersebut meminta walker untuk selalu percaya diri dengan tindakan yang ia ambil. Menghadapi murid dan orang tua atau wali murid memang terkadang terasa sulit. Namun sebagai guru, Walker diminta untuk berkulit tebal, tidak merasa takut jika tidak membahagiakan orang tua murid, dan selalu meyakini bahwa "saya sebagai guru adalah seorang profesional di sekolah", dan "orang tua adalah profesional di rumah". Dengan begitu, biarkan para profesional tersebut bekerja sesuai keahlian, tentunya dengan tetap saling melakukan koordinasi antara guru dan orang tua/wali murid. 

Tidak hanya dua strategi diatas, yakni let it flow dan berkulit tebal yang perlu dilakukan, menumbuhkan pendekatan abundance-oriented juga perlu dilakukan lewat kolaborasi lewat kopi, mendatangkan para ahli sesama guru di kelas masing-masing, menyediakan waktu berlibur untuk diri, dan yang paling penting dari semuanya adalah jangan lupa bahagia.

Tentunya tips atau strategi-strategi yang dijelaskan walker dalam bukunya ini tidaklah harus di pandang dan diterapkan secara kaku. Teman-teman guru bisa memodifikasi, menambahkan, alias membuat versi masing-masing yang disesuaikan dengan konteks pembelajaran. Pada intinya, semoga sedikit ulasan ini memberi insight kepada saya dan teman-teman yang membaca untuk selalu melakukan yang terbaik, entah posisinya sebagai guru, murid, ataupun orang tua murid. Akhirnya, sekian dari saya, jangan lupa bahagia ya :)
Share:
Continue Reading →

Tuesday, September 8, 2020

Teach Like Finland (4/5)

Saatnya melanjutkan tulisan. Karena apa yang sudah kita mulai harus kita tuntaskan. Right? Seperti soal Timothy D Walker dalam bukunya Teach Like Finland ini. Jadi kawan, selain kesejahteraan, sense of belonging, dan kemandirian, ada hal lain yang juga mempengaruhi kualitas pendidikan, yakni penguasaan. Apa yang dimaksud penguasaan oleh Walker? Pada intinya, dengan adanya penguasaan, akan tercipta perasaan bahagia dan gembira dalam proses pembelajaran. Seorang guru akan merasa gembira jika ia mampu memenuhi kebutuhan kelasnya. Guru juga akan bahagia jika ia mampu menguasai satu subjek atau keahlian yang ditanyakan oleh siswa siswinya. Hal ini akhirnya dapat menciptakan nuasa bahagia dalam seluruh isi kelas.

Menurut Walker, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan agar terbentuk penguasaan atas subjek tertentu. Beberapa diantaranya adalah dengan mengajarkan hal-hal mendasar, lakukan pendampingan, gunakan teknologi, buktikan pembelajaran, dan diskusikan soal nilai. Dalam hal mengajarkan hal-hal mendasar, Walker menyarankan agar setiap guru tetap berpedoman pada buku pegangan. Hal ini membantu para guru untuk tetap fokus pada pengajaran yang sesuai kurikulum dan tidak terpengaruh untuk menambahkan hal-hal yang tidak perlu ke dalam proses pengajaran tersebut. Dengan diajarkan hal-hal mendasar secara fokus, para murid akan lebih cepat memahami dan menguasai subjek yang diajarkan tanpa harus diminta mengerjakan hal lain diluar kurikulum. 

Berikutnya, penggunaan teknologi juga merupakan pemicu lain dalam penguasaan keahlian tertentu. Walker membandingkan perlengkapan teknologi semasa mengajar di Amerika dengan saat mengajar di Finlandia. Walker menyebut bahwa penggunaan teknologi di Amerika sudah lebih lengkap dan canggih dibanding dengan sekolah Finlandia. Namun bukan itu benang merah yang diambil Walker. Yang digaris bawahi oleh Walker adalah pada keterampilan guru-guru di Finlandia dalam menggunakan teknologi. Mereka hanya menggunakan teknologi sebagaimana perlunya. Hal ini membuat mereka tidak terbebani dengan tuntutan teknologi yang terus berkembang. Walker menyebut bahwa teknologi dalam proses pembelajaran memang harus ditempatkan ditempat yang semestinya, yakni sebagai penunjang pembelajaran.

Contoh berikutnya adalah perlunya mendiskusikan nilai dengan para murid. Guru perlu menanyakan kepada murid-muridnya, kira-kira berapa nilai yang pantas didapatkan oleh siswa tersebut diakhir pembelajaran. Hal ini berarti memberikan ruang kepada para siswa untuk menilai diri mereka sendiri. Setelah siswa menyodorkan nilai versi mereka, guru kemudian mengkonfirmasi nilai tersebut dengan menyesuaikan perkembangan terukur yang dialami para siswa itu sendiri. Dampaknya adalah pada kemampuan siswa tersebut untuk berusaha menguasai subjek atau keahlian yang diajarkan. Mereka akan berusaha menguasai subjek sehingga pada penilaiannya mereka dapat memberikan nilai terbaik bagi diri sendiri. 

Semoga manfaat ya. Mohon komen dan masukan untuk tulisan-tulisan saya. Jangan lupa senyum dan terapkan hidup sehat. See u :)
Share:
Continue Reading →

Sunday, September 6, 2020

Teach Like Finland: Kemandirian (3/5)

Bismillahirrahmanirrahim...

Semoga kawan semua always healthy ya. Jangan lupa untuk lindungi diri dengan menutup aurat dan pakai masker, rajin cuci tangan serta hindari keramaian yang tidak perlu. 

Tulisan ini adalah part ketiga dari lima part yang akan saya tulis. Saya sendiri sedikit jenuh mengulas buku ini tiga hari berturut-turut, haha. Tetapi  karena ini penting bagi diri sendiri dan semoga juga bermanfaat bagi teman pembaca, maka tak apalah saya berjibaku dengan Teach Like Finland lagi sampai dua hari kedepan. hehe. 

Dalam tulisan ini, saya akan mengulas tentang poin ketiga yakni kemandirian. Lagi-lagi Walker kebingungan ketika dimasa awal ia mengajar di Finlandia. Ia bertanya pada rekan gurunya, kemana ia akan mengantar para murid sehabis pelajaran sekolah? Walker menanyakan hal tersebut karena di Amerika ia terbiasa mengantarkan murid-muridnya ke pintu keluar, yakni titik lokasi dimana anak murid akan dijemput dengan bus, mobil atau apapun, oleh orangtuanya. Tentunya rekan-rekan guru Walker kebingungan menjawab pertanyaan itu karena memang tidak ada kebiasaan seperti itu di Finlandia. 

Walker kemudian menemukan perbedaan. Ia menyimpulkan bahwa siswa-siswi di Finlandia lebih mandiri dibandingkan dengan yang ia temukan di Amerika. Satu hal yang menjadi jawaban Walker dalam dirinya adalah adanya kesempatan menjadi mandiri. Siswa-siswi di Finlandia terbiasa melakukan berbagai hal sendiri tanpa bantuan orang lain, inilah sebabnya siswa-siswi Finlandia lebih mudah memposisikan diri mereka sebagai seorang pembelajar. 

Menurut Walker, salah satu strategi menciptakan kemandirian adalah memulai dengan kebebasan. Kebebasan bisa saja terjadi dalam berbagai bentuk. Contoh sederhana adalah dengan memberikan keleluasaan kepada para murid untuk menentukan ide tentang proyek apa yang akan mereka laksanakan dalam tim kelas mereka. 

Ketika mengajar di Finlandia, Walker mendapatkan usulan dari salah satu siswanya agar kelas mereka membuat website kuis bernama Kahoot. Meski ide ini tidak disetujui Walker, namun demi tetap memberikan keleluasaan kepada para siswanya, Walker menjawab bahwa ide tersebut sebaiknya di bicarakan bersama di kelas etik. Dengan memberi jawaban demikian, maka Walker tetap memberikan kebebasan kepada siswanya dan tidak memberikan jawaban yang mengecewakan. 

Hal lain yang dapat membangkitkan kemandirian adalah dengan membuat rencana bersama antara murid dan guru. Kemandirian juga dapat diciptakan dengan membuat rencana tersebut menjadi nyata. Tidak hanya itu, menawarkan beberapa pilihan kepada para siswa juga dapat membantu mereka untuk menjadi mandiri, terutama dalam pengambilan keputusan. 

******* Refleksiku: kemandirian itu tidak hanya dilatih disekolah, tetapi juga di rumah oleh keluarga, dan di lingkungan sosial oleh masyarakat. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam hal ini, misalnya dengan membiarkan para siswa/anak berekspresi sesuai minat dan bakat mereka, tidak terlalu mengatur segala hal yang berkaitan dengan anak. Tidak mengekang. Dan tidak banyak memberikan larangan terhadap satu hal yang masih bisa di toleransi. Hal yang paling penting menurut saya sebagai pembaca buku ini adalah memberikan pengalaman langsung kepada anak/siswa agar mereka belajar langsung dari proses nyata yang terjadi. Jadi, jangan dikit dikit dianter, dikit dikit di bantuin, padahal sebenarnya mereka bisa melakukannya sendiri. 

Well, sampai disini dulu ya. Teman-teman guru pasti lebih paham bagaimana menciptakan kemandirian karena telah sering berhadapan langsung dengan para siswa di kelas-kelas di sekolah.  

Share:
Continue Reading →

Saturday, September 5, 2020

Teach Like Finland (2/5)

Apa kabar kawan? Sehat kan masih? Malam ini saya mau lanjutin bahasan dari buku Teach Like Finland, karya Timothy D Walker. Jadi, selain kesejahteraan, hal lain yang menjadikan pendidikan Finlandia dinilai paling baik adalah soal rasa dimiliki (sense of belonging). Dalam hal ini, Walker mengamati rekan-rekan sesama guru di Helsinki, Finlandia, memiliki hubungan yang baik antara satu dengan yang lain. Mereka memprioritaskan hubungan dengan sesama rekan guru baik dalam bentuk beristirahat bersama, saling membagikan tips dan trik mengajar yang baik, penyelesaian masalah, dan pada akhirnya Walker menyebut di akhir bab ini sebagai sebuah bentuk kolaborasi. 

Walker menyatakan, jika kita menyegarkan diri setiap hari seusai sekolah, dan jika kita menyadari bahwa rasa dimiliki berpengaruh positif terhadap kebahagiaan dan pengajaran di sekolah, maka adalah hal yang masuk akal jika kita memanfaatkan sebagian dari waktu luang untuk memelihara hubungan dengan orang lain. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan sesekali menelpon teman lama, makan siang dengan rekan guru, pun juga menikmati teh dimalam hari bersama istri ketika anak-anak sudah tertidur. 

Ada hal yang baik dan perlu ditiru dari sekolah di Finlandia tempat Walker mengajar. Yakni bahwa adanya situasi yang dibangun agar para guru tidak merasa sendirian dalam mengelola kelas mereka. Walker pernah ditanya oleh kepala sekolahnya di Helsinki, "jadi, bagaimana kelas anda sejauh ini?". Pertanyaan itu tidak ditanyakan secara personal, namun sengaja ditanyakan dalam sebuah forum yang berisi guru-guru di sekolah tersebut. Kepala sekolah meminta setiap guru untuk berbagi tanggungjawab dengan rekan guru yang lain agar kebutuhan pelajaran siswa dapat terpenuhi dengan baik. Dan, benarlah kata rekan Walker dalam sebuah kesempatan, pertemuan dalam forum guru tersebut akan memberikan rasa yang berbeda, bahwa seorang guru tidak perlu merasa sendirian dalam memikul tangung jawab mengelola kelas. Artinya, kelas bukan hanya milik satu orang guru saja, tapi juga tanggungjawab bersama. Kelas bukanlah milik saya, tetapi milik kami. 

Walker menyaksikan bagaimana rekan-rekan sesama gurunya saling terhubung tanpa ada rasa sungkan. Pola kerja seperti ini dapat menstimulus rasa gembira bagi guru dalam mengajar. Guru-guru merasa dimiliki, merasa dibutuhkan kehadirannya. Lalu bagaimana dengan siswa? Menurut Walker, berikut beberapa tips yang bisa dilakukan untuk memupuk perasaan dimiliki. Yakni; (1) kenali setiap anak, (2) bermainlah dengan mereka, (3) merayakan keberhasilan mereka, (4) mengejar impian kelas, (5) menghapus perisakan (bulying), dan (5) berkawanlah dengan mereka. 

Tentunya masih banyak tips atau strategi yang dapat dilakukan untuk memupuk perasaan dimiliki pada siswa maupun sesama rekan guru. Teman-teman bisa menyesuaikannya dengan kondisi tempat dimana teman-teman mengajar. 

Cukup dulu tulisan ini, bagian ketiga tentang kemandirian semoga bisa saya tulis di hari berikutnya. See u :)

Share:
Continue Reading →

Friday, September 4, 2020

Teach Like Finland (1/5)


Hola, hai, Assalamu'alaikum. Semoga teman-teman sehat ya. Lagi-lagi tentang masa pandemi Covid 19, aktifitas penghibur diri yang menurut saya cocok dijadikan rutinitas adalah membaca buku. Sebagai pengingat: seharusnya memang tak perlu menunggu pandemi dulu baru rajin baca, tapi its oke lah ya. Yang belum memulai membaca, yuk mulai, biar gak hanya baca status aja kerjanya, oops

Well, salah satu koleksi buku yang menjadi teman saya beberapa bulan lalu adalah Teach Like Finland, atau mengajar seperti Finlandia, karya Timothy D Walker, seorang guru yang awalnya mengajar di Amerika kemudian pindah ke Finlandia dan menemukan banyak hal mengejutkan dalam proses belajar mengajar disana. Timothy D Walker membandingkan dua hal berbeda yang ia temui antara sekolah dia sebelumnya dan tempat ia mengajar di Finlandia. Walker terkejut, mengapa guru-guru di Finlandia begitu menikmati aktifitasnya sebagai pengajar di sekolah sementara pengalaman pribadinya sebelum itu menggambarkan hal yang bertolak belakang. Lalu bagaimana sebenarnya pendidikan di Finlandia berlangsung?

Perlu kita ingat bahwa Finlandia pernah mengejutkan dunia dengan prestasinya mencapai nilai PISA (programme for international student assesment) tertinggi pada tahun 2001. Dunia betanya-tanya, mengapa siswa-siswi Finlandia yang masih berusia 15 tahun itu bisa mencapai skor tertinggi pada PISA yang mengukur keterampilan berpikir kritis dalam matematika, sains, dan membaca. Banyak juga yang bertanya, bagaimana mungkin sekolah Finlandia yang jam belajarnya pendek, dan PRnya tidak banyak itu dapat menjadi yang tertinggi di PISA?

Walker mengamati dengan seksama untuk menjawab pertanyaan itu, terlebih ketika ia terlibat langsung menjadi guru di sekolah Finlandia. Ternyata, paling tidak ada lima hal yang menjadi benang merah keberhasilan Finlandia. Lima hal yang dimaksud adalah kesejahteraan, rasa dimiliki, kemandirian, penguasaan dan pola pikir. 

Kelima hal tersebut tentunya memerlukan penjelasan yang lebih memadai dari sekedar tulisan ringkas saya ini. Akan lebih baik lagi jika teman-teman membaca langsung bukunya untuk mendapatkan pengalaman membaca yang mengasyikkan. **Boleh beli hard version, atau versi digitalnya seperti yang saya lakukan (untuk menghemat biaya dan waktu pengiriman hehe). Dalam tulisan ini saya akan berusaha mengulas sebisa yang dapat saya lakukan. Mari simak bersama ya.

Pertama, tentang kesejahteraan. Walker merasa kaget dimasa awal ketika ia pindah ke Finlandia. Ia mengamati betapa orang-orang disana terlihat santai menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Walker merasa kehidupan demikian bukanlah sesuatu yang penuh harapan, ia meyakini betul bahwa hidup dengan penuh energilah yang lebih menjanjikan. Namun seiring waktu, Walker mulai memaklumi dan perlahan terbawa pola hidup "yang terasa lebih slow tersebut". Hal ini berhasil dalam kehidupan sehari-harinya namun tidak berhasil dalam aktivitas di sekolah. Walker masih terbawa pola kerja di Amerika yang penuh energi dengan produktivitas tinggi. Hingga suatu ketika seorang mentor Walker di sekolahnya di Finlandia berkata "Tim, kamu adalah tuan dari pekerjaanmu dan bukan dipertuan pekerjaan". 

Tahun pertama di sekolah Finlandia adalah sebuah upaya keras bagi seorang Walker. Saat rekan-rekan gurunya menghabiskan waktu istirahat 15 menit di ruang istirahat, Walker tetap berada di ruang kelas untuk menyelesaikan berbagai tanggung jawab mengajar. Bagi Timothy D Walker ini, pendidik yang paling baik adalah mereka yang bekerja paling keras, bahkan jika itu berarti bahwa ia harus mengurangi jam tidur dan waktu bersosialisasi dengan sesama rekan guru. 

Mengamati pola kerja Walker yang mengabaikan kesejahteraan diri sendiri, rekan-rekan sesama gurunya mulai menyarankan betapa penting bagi Walker untuk beristirahat beberapa kali di sekolah. Mereka mengusulkan agar Walker mengubah kebiasaan yang menghabiskan 15 menit istirahatnya dengan tetap berada dikelas. Walker kemudian tertawa mendengar apa yang disarankan untuknya. Ia masih saja bertanya-tanya, apa pentingnya menghabiskan waktu 15 menit hanya dengan bercanda dan tertawa bersama rekan-rekan guru lainnya di longue? Mengapa 15 menit tersebut tidak digunakan untuk tetap produktif menyelesaikan kewajiban mengajar?

Pertanyaan tersebut terus saja menghantui Walker sampai ia membaca hasil penelitian yang menyatakan bahwa "kebahagiaan bukanlah hasil dari kesuksesan, melainkan kunci sebuah kesuksesan". Dan pondasi untuk dapat merasakan kebahagiaan adalah dengan terpenuhinya kebutuhan pokok seperti tidur, makan, dan istirahat yang cukup. 

Lalu apa kaitannya dalam proses belajar disekolah? Ya, bahwa baik guru maupun siswa-siswinya harus merasa bahagia agar dapat mengajar dan memahami pelajaran dengan efektif. 

Bagaimana agar kebahagiaan itu tercapai? Tentunya seorang guru tidak bertugas memenuhi kebutuhan para siswanya dengan cara memberikan sejumlah uang. Yang dapat ia lakukan adalah menciptakan suasana belajar untuk menstimulus rasa bahagia, hingga akhirnya baik guru maupun siswanya sukses dalam proses pendidikan.

Dalam hal ini, menurut Timothy D Walker, banyak cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hal ini dapat disesuaikan dengan kondisi atau kultur dimana para guru mengajar. Walker menulis tips-tips berdasarkan pengalamannya, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: 

(1) Membuat jadwal istirahat otak (misalnya istirahat 5 menit setelah setiap 45 menit belajar dikelas). (2) Belajar sambil bergerak, misal dengan ice breaking. (3) Recharge sepulang sekolah, yakni dengan tidak membawa pekerjaan kantor ke rumah. (4) Menyederhanakan ruang kelas, dengan tidak banyak membuat visual noice yang mengganggu konsentrasi siswa-siswi. (5) Menghirup udara segar, misalnya mendesain kelas dengan sirkulasi udara yang baik. (6) Belajar ke alam lepas. Dan atau (7) menciptakan atmosfer belajar yang damai dengan meminimalisir kebisingan.    

Jadi, apa sudah ada gambaran kelas seperti apa yang akan teman-teman ciptakan? Sudah dulu ya untuk poin pertama ini. Masih banyak penjelasan lainnya, tetapi cukuplah untuk tulisan malam ini, kita lanjut besok dengan poin yang kedua, yakni tentang rasa dimiliki. Insya Allah. 
Share:
Continue Reading →

Thursday, September 3, 2020

Pantai Mandel Banggai Kepulauan, Surga Dunia di Tengah Indonesia

“Siapa sih yang masih meragukan keindahan alam Indonesia? Sebuah negeri yang disebut-sebut sebagai surga dunia. Pasir putih, laut biru, suara debur ombak, langit cerah dan sahut-sahutan cuitan burung bukanlah kata yang cukup menggambarkan betapa alam adalah sebuah harmoni indah pemberian Allah. Wujud syukur atas anugerah tersebut tentunya tidak akan cukup diwakilkan hanya dengan kata-kata, tetapi lebih dari itu, tindakan nyata menjaga alam dengan penuh tanggungjawab adalah sebuah keharusan”.

Tulisan saya kali ini berisi cerita perjalanan kesalah satu pantai di Banggai Kepulauan. Kami sering menyebutnya Pantai Mandel. Dari tempat tinggal saya, desa Sambiut, perjalanan menuju pantai Mandel dengan kendaraan motor dapat ditempuh kurang lebih 40 menit, tergantung seberapa laju kamu memacu kendaraan.  


Tepat pukul 08.00 WITA dibulan Juni lalu, saya dan keluarga dengan kendaraan motor masing-masing bergegas menuju pantai Mandel. Kami harus melewati beberapa desa yakni Tone, Abason, Lopito, Kombutokan, dan Nosuon sebelum akhirnya sampai ditujuan. Letak Pantai Mandel sangat dekat dengan jalan Trans Pulau Peling sebagai satu-satunya akses darat menuju pantai tersebut.

Langit biru dan deretan nyiur yang melambai-lambai menyambut kami dengan suka cita pagi itu. Satu tenda kami dirikan untuk tempat berteduh menikmati bekal makanan yang telah kami siapkan dari rumah. 


Tak mau berlama-lama dengan urusan tenda dan perbekalan, kami menikmati pantai dan laut Mandel dengan cara masing-masing. Ada yang segera menceburkan diri di laut, ada yang melakukan swafoto terlebih dahulu, ada juga yang memutuskan duduk ditenda menjadi pengamat setia, kebanyakan mereka adalah golongan yang tua-tua, hehe. 


Pantai Mandel menurut saya adalah paket komplit pemandangan dengan nuansa alam yang belum tersentuh tangan manusia. Air lautnya jernih hingga menampakan pasir putih didasarnya. Suara debur ombak menenangkan jiwa. Pun pemandangan langit dan jejeran nyiur indah menjadi bagian yang tidak kalah mempesona. Tidak hanya itu, gugusan batu-batu karang yang kokoh menjadi pelengkap pemandangan yang semakin membuat saya yakin bahwa Mandel adalah salah satu surga dunia di Indonesia.

Harmoni keindahan alam ini membuat hati terus berdecak kagum mengucap syukur. Sungguh alam Indonesia sangatlah elok seperti keramahan masyarakatnya. Akankah ini bertahan hingga dapat dinikmati generasi tahun-tahun berikutnya? Semoga saja, ya? Karena disamping keramahan masyarakatnya, negeri plus enam dua ini juga merupakan salah satu negeri dengan permasalahan lingkungan yang belum selesai. Sampah-sampah masih saja dibuang sembarangan. Keserampangan membuang sampah ini tentu bukanlah sepenuhnya salah masyarakat, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan teknologi pengelolaan sampah yang memadai hingga sampah tersebut tidak lagi berdampak buruk bagi lingkungan. Hm...., well, sekian dulu cerita singkat ini. Semoga saya dan teman-teman yang membaca ini menjad bagian dari solusi permasalahan sampah di Indonesia, bukan malah sebaliknya.
Share:
Continue Reading →

Wednesday, September 2, 2020

Tak Masalah Menjadi Orang Introver



"Tak masalah menjadi orang introver" adalah buku karangan Sylvia Loehken, seorang trainer yang pada dasarnya introver namun dituntut lebih sering berbicara karena pekerjaannya. Menurut saya, buku ini menarik, karena lagi-lagi persoalan interaksi dengan sesama manusia itu tak lepas dan tidak jauh-jauh berkaitan dengan karakter atau personaliti. Dan, introver dan ekstrover adalah tipe kepribadian yang sudah sering kita dengar maupun baca penjelasannya dalam berbagai ceramah dan tulisan.

Tentunya saya tidak bermaksud mejelaskan panjang lebar apa itu introver dan ekstrover dalam tulisan ini (hehe), temen-temen dari psikologi yang lebih pantas untuk itu. Tapi yang terpenting menurut saya adalah bagaimana pemahaman tentang dua kepribadian ini menjadikan kita lebih peka terhadap diri sendiri dan orang lain. Bukankah indah hidup dengan harmoni sebab telah terjadi saling paham antar sesama? Lagi-lagi kaitannya dengan konsep komunikasi bahwa yang terpenting dalam interaksi adalah adanya mutual understanding atau pemahaman bersama antara orang-orang yang berkomunikasi tersebut. Teringat juga, dalam Alquran telah dijelaskan tentang bagaimana pemahaman bersama dalam komunikasi dapat tercapai, adalah melalui perkataan-perkataan yang baik, benar, dan juga menyentuh hati, (nanti cek sendiri ya, atau lain kali semoga bisa saya ulas dalam tulisan). Lalu, bagaimana caranya? Well, salah satu jalan agar mutual understanding ini bisa kita capai adalah dengan memahami kepribadian orang yang kita ajak berinteraksi.

Menurut Sylvia Loehken, yang terpenting adalah bukan tentang introver atau ekstrover itu sendiri, tetapi bagaimana agar jurang atau gap yang terjadi dari kepribadian berbeda ini bisa di minimalisir. Orang-orang introver perlu memahami bahwa ada kepribadian lain yang berbeda dengan mereka, dan itu tidak salah. Pun orang-orang ekstrover juga perlu menyadari bahwa selain mereka, ada teman-teman introver dengan tipe interaksi yang berbeda jauh, dan itupun tidak salah. 

Dari buku Sylvia Loehken ini, satu hal menarik dan penting adalah; bahwa orang-orang introver lebih menyukai suasana yang tenang, hening, dan jauh dari kegaduhan karena dalam suasana inilah energi positif mereka di recharge. Disisi lain, orang-orang ekstrover menyukai suasana yang hidup dan penuh energi karena dalam interaksi dengan orang lainlah kaum ekstrover ini bisa mendapat energi. Lalu, bagaimana jika dua kepribadian ini berada dalam satu atap? Bisa kebayang kan? hmmmm, setiap orang pasti bisa menemukan solusinya. Entah dengan cara mengalah atau saling terbuka tentang keinginan masing-masing agar bisa saling memahami. Kalau kamu, kira-kira akan mengambil sikap yang mana? pernah punya pengalaman soal ini? Share to me yaaa, mungkin kita bisa saling belajar. 

***Anyway, tambahan dikit, ternyata Introver dan ekstrover itu ada kadarnya, bisa jadi seseorang pada dasarnya introver namun masih memiliki sisi ekstrover (flexy introvert), dan bisa jadi ada orang yang pada dasarnya ekstrover namun juga memiliki sisi introver (flexy extrovert). Jadi, mari terus belajar dan berusaha memahami diri sendiri dan orang lain. Suri teladan kita sudah ada, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Tentu kita (kita? saya aja ding) yang banyak dosa ini masih jauh dari teladan itu, tapi semoga terus berusaha. Aamiin.
Share:
Continue Reading →

Tuesday, September 1, 2020

Covid dan interaksi orang-orang

Apa yang lebih menyedihkan daripada kesusahan finansial dimasa pandemi ini? Tentunya banyak ya, namun saya menemukan bahwa kesedihan yang lebih mendalam adalah ketika kita menemukan begitu banyak emosi dalam diri yang bergejolak. Tentang sisi psikologis yang banyak teraduk-aduk, seperti menampar diri bahwa sungguh kita ini adalah manusia yang sering merasa bagai dewa. Ah ya, atau jangan-jangan hanya saya saja yang merasa begitu? Semoga kamu tidak ya, kawan.

Well, tinggal bersama orang lain dalam waktu yang lama tentunya butuh banyak penyesuaian. Hal-hal buruk yang dulunya belum sempat terlihat secara kasat mata, saat ini tiba-tiba terlihat dengan terang benderang sebab situasi covid meminta kita untuk tetap dirumah saja. Maka benarlah sebuah konsep sosial yang menyatakan, semakin lama seseorang berinteraksi, semakin banyak "kemungkinan konflik" yang akan ia lalui. Dan benar juga jika ada yang mengatakan, bahwa orang yang sangat mungkin menyakitimu adalah justru ia yang terdekat denganmu.

Saya jadi teringat kulit bawang yang terdiri dari lapisan-lapisan yang entah berapa jumlahnya, mungkin anak biologi bisa membantu menjelaskan, hehe. Tapi yang jelas, semakin kita mengupas lapisan-lapisan kulit bawang itu, akan semakin sampai kita pada lapisan intinya. Semakin lama kita bersama orang lain, akan semakin mungkin kita untuk sampai pada hal-hal inti dalam diri orang tersebut. Bisa berupa prinsip, nilai, pandangan hidup, cara berpikir, dan segala hal yang membentuk kepribadian dan perilaku orang tersebut. Semakin lama kita bersama dengan orang lain, semakin terbukalah siapa dan bagaimana karakter dan tingkah laku orang tersebut. Dalam hal ini, jika kita tak pandai menurunkan ego, maka konflik berkepanjangan akan mudah terjadi.

Lalu caranya menjalaninya bagaimana? Mengingat situasi pandemi ini belum juga berakhir, dan kita masih harus bersabar untuk lebih sering di rumah daripada keluyuran tak jelas. Berikut tips dari saya yang mungkin boleh kamu coba.

Ya, mulailah untuk saling terbuka, sesakit apapun hal yang akan kamu sampaikan, sampaikanlah, dengan tujuan untuk mendapat solusi. Memang awalnya akan sakit karena ternyata banyak lapisan-lapisan kehidupan kita yang terlihat buruknya dimata orang lain. Tapi bukankah memang manusia adalah tempatnya berbagai kesalahan? Nikmati kesakitan itu, terima, karena esok, situasi sakit itu bisa saja terulang kembali, namun kamu sudah siap karena telah pernah melaluinya.

Jadi, stay positif ya, berbulan-bulan lebih banyak dirumah memang menjenuhkan. Ada yang berkata, rumah adalah segala-galanya tempat untuk pulang. Namun rumah juga kadang kala tak sanggup lagi menampung egomu yang tinggi itu. Jadi, turunkan egomu wahai diri, ya.   

Share:
Continue Reading →