Tuesday, September 29, 2020
Sunday, September 13, 2020
Teach Like Finland (5/5)
Tuesday, September 8, 2020
Teach Like Finland (4/5)
Sunday, September 6, 2020
Teach Like Finland: Kemandirian (3/5)
Bismillahirrahmanirrahim...
Semoga kawan semua always healthy ya. Jangan lupa untuk lindungi diri dengan menutup aurat dan pakai masker, rajin cuci tangan serta hindari keramaian yang tidak perlu.
Tulisan ini adalah part ketiga dari lima part yang akan saya tulis. Saya sendiri sedikit jenuh mengulas buku ini tiga hari berturut-turut, haha. Tetapi karena ini penting bagi diri sendiri dan semoga juga bermanfaat bagi teman pembaca, maka tak apalah saya berjibaku dengan Teach Like Finland lagi sampai dua hari kedepan. hehe.
Dalam tulisan ini, saya akan mengulas tentang poin ketiga yakni kemandirian. Lagi-lagi Walker kebingungan ketika dimasa awal ia mengajar di Finlandia. Ia bertanya pada rekan gurunya, kemana ia akan mengantar para murid sehabis pelajaran sekolah? Walker menanyakan hal tersebut karena di Amerika ia terbiasa mengantarkan murid-muridnya ke pintu keluar, yakni titik lokasi dimana anak murid akan dijemput dengan bus, mobil atau apapun, oleh orangtuanya. Tentunya rekan-rekan guru Walker kebingungan menjawab pertanyaan itu karena memang tidak ada kebiasaan seperti itu di Finlandia.
Walker kemudian menemukan perbedaan. Ia menyimpulkan bahwa siswa-siswi di Finlandia lebih mandiri dibandingkan dengan yang ia temukan di Amerika. Satu hal yang menjadi jawaban Walker dalam dirinya adalah adanya kesempatan menjadi mandiri. Siswa-siswi di Finlandia terbiasa melakukan berbagai hal sendiri tanpa bantuan orang lain, inilah sebabnya siswa-siswi Finlandia lebih mudah memposisikan diri mereka sebagai seorang pembelajar.
Menurut Walker, salah satu strategi menciptakan kemandirian adalah memulai dengan kebebasan. Kebebasan bisa saja terjadi dalam berbagai bentuk. Contoh sederhana adalah dengan memberikan keleluasaan kepada para murid untuk menentukan ide tentang proyek apa yang akan mereka laksanakan dalam tim kelas mereka.
Ketika mengajar di Finlandia, Walker mendapatkan usulan dari salah satu siswanya agar kelas mereka membuat website kuis bernama Kahoot. Meski ide ini tidak disetujui Walker, namun demi tetap memberikan keleluasaan kepada para siswanya, Walker menjawab bahwa ide tersebut sebaiknya di bicarakan bersama di kelas etik. Dengan memberi jawaban demikian, maka Walker tetap memberikan kebebasan kepada siswanya dan tidak memberikan jawaban yang mengecewakan.
Hal lain yang dapat membangkitkan kemandirian adalah dengan membuat rencana bersama antara murid dan guru. Kemandirian juga dapat diciptakan dengan membuat rencana tersebut menjadi nyata. Tidak hanya itu, menawarkan beberapa pilihan kepada para siswa juga dapat membantu mereka untuk menjadi mandiri, terutama dalam pengambilan keputusan.
******* Refleksiku: kemandirian itu tidak hanya dilatih disekolah, tetapi juga di rumah oleh keluarga, dan di lingkungan sosial oleh masyarakat. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam hal ini, misalnya dengan membiarkan para siswa/anak berekspresi sesuai minat dan bakat mereka, tidak terlalu mengatur segala hal yang berkaitan dengan anak. Tidak mengekang. Dan tidak banyak memberikan larangan terhadap satu hal yang masih bisa di toleransi. Hal yang paling penting menurut saya sebagai pembaca buku ini adalah memberikan pengalaman langsung kepada anak/siswa agar mereka belajar langsung dari proses nyata yang terjadi. Jadi, jangan dikit dikit dianter, dikit dikit di bantuin, padahal sebenarnya mereka bisa melakukannya sendiri.
Well, sampai disini dulu ya. Teman-teman guru pasti lebih paham bagaimana menciptakan kemandirian karena telah sering berhadapan langsung dengan para siswa di kelas-kelas di sekolah.
Saturday, September 5, 2020
Teach Like Finland (2/5)
Apa kabar kawan? Sehat kan masih? Malam ini saya mau lanjutin bahasan dari buku Teach Like Finland, karya Timothy D Walker. Jadi, selain kesejahteraan, hal lain yang menjadikan pendidikan Finlandia dinilai paling baik adalah soal rasa dimiliki (sense of belonging). Dalam hal ini, Walker mengamati rekan-rekan sesama guru di Helsinki, Finlandia, memiliki hubungan yang baik antara satu dengan yang lain. Mereka memprioritaskan hubungan dengan sesama rekan guru baik dalam bentuk beristirahat bersama, saling membagikan tips dan trik mengajar yang baik, penyelesaian masalah, dan pada akhirnya Walker menyebut di akhir bab ini sebagai sebuah bentuk kolaborasi.
Walker menyatakan, jika kita menyegarkan diri setiap hari seusai sekolah, dan jika kita menyadari bahwa rasa dimiliki berpengaruh positif terhadap kebahagiaan dan pengajaran di sekolah, maka adalah hal yang masuk akal jika kita memanfaatkan sebagian dari waktu luang untuk memelihara hubungan dengan orang lain. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan sesekali menelpon teman lama, makan siang dengan rekan guru, pun juga menikmati teh dimalam hari bersama istri ketika anak-anak sudah tertidur.
Ada hal yang baik dan perlu ditiru dari sekolah di Finlandia tempat Walker mengajar. Yakni bahwa adanya situasi yang dibangun agar para guru tidak merasa sendirian dalam mengelola kelas mereka. Walker pernah ditanya oleh kepala sekolahnya di Helsinki, "jadi, bagaimana kelas anda sejauh ini?". Pertanyaan itu tidak ditanyakan secara personal, namun sengaja ditanyakan dalam sebuah forum yang berisi guru-guru di sekolah tersebut. Kepala sekolah meminta setiap guru untuk berbagi tanggungjawab dengan rekan guru yang lain agar kebutuhan pelajaran siswa dapat terpenuhi dengan baik. Dan, benarlah kata rekan Walker dalam sebuah kesempatan, pertemuan dalam forum guru tersebut akan memberikan rasa yang berbeda, bahwa seorang guru tidak perlu merasa sendirian dalam memikul tangung jawab mengelola kelas. Artinya, kelas bukan hanya milik satu orang guru saja, tapi juga tanggungjawab bersama. Kelas bukanlah milik saya, tetapi milik kami.
Walker menyaksikan bagaimana rekan-rekan sesama gurunya saling terhubung tanpa ada rasa sungkan. Pola kerja seperti ini dapat menstimulus rasa gembira bagi guru dalam mengajar. Guru-guru merasa dimiliki, merasa dibutuhkan kehadirannya. Lalu bagaimana dengan siswa? Menurut Walker, berikut beberapa tips yang bisa dilakukan untuk memupuk perasaan dimiliki. Yakni; (1) kenali setiap anak, (2) bermainlah dengan mereka, (3) merayakan keberhasilan mereka, (4) mengejar impian kelas, (5) menghapus perisakan (bulying), dan (5) berkawanlah dengan mereka.
Tentunya masih banyak tips atau strategi yang dapat dilakukan untuk memupuk perasaan dimiliki pada siswa maupun sesama rekan guru. Teman-teman bisa menyesuaikannya dengan kondisi tempat dimana teman-teman mengajar.
Cukup dulu tulisan ini, bagian ketiga tentang kemandirian semoga bisa saya tulis di hari berikutnya. See u :)
Friday, September 4, 2020
Teach Like Finland (1/5)
Hola, hai, Assalamu'alaikum. Semoga teman-teman sehat ya. Lagi-lagi tentang masa pandemi Covid 19, aktifitas penghibur diri yang menurut saya cocok dijadikan rutinitas adalah membaca buku. Sebagai pengingat: seharusnya memang tak perlu menunggu pandemi dulu baru rajin baca, tapi its oke lah ya. Yang belum memulai membaca, yuk mulai, biar gak hanya baca status aja kerjanya, oops.
Well, salah satu koleksi buku yang menjadi teman saya beberapa bulan lalu adalah Teach Like Finland, atau mengajar seperti Finlandia, karya Timothy D Walker, seorang guru yang awalnya mengajar di Amerika kemudian pindah ke Finlandia dan menemukan banyak hal mengejutkan dalam proses belajar mengajar disana. Timothy D Walker membandingkan dua hal berbeda yang ia temui antara sekolah dia sebelumnya dan tempat ia mengajar di Finlandia. Walker terkejut, mengapa guru-guru di Finlandia begitu menikmati aktifitasnya sebagai pengajar di sekolah sementara pengalaman pribadinya sebelum itu menggambarkan hal yang bertolak belakang. Lalu bagaimana sebenarnya pendidikan di Finlandia berlangsung?
Perlu kita ingat bahwa Finlandia pernah mengejutkan dunia dengan prestasinya mencapai nilai PISA (programme for international student assesment) tertinggi pada tahun 2001. Dunia betanya-tanya, mengapa siswa-siswi Finlandia yang masih berusia 15 tahun itu bisa mencapai skor tertinggi pada PISA yang mengukur keterampilan berpikir kritis dalam matematika, sains, dan membaca. Banyak juga yang bertanya, bagaimana mungkin sekolah Finlandia yang jam belajarnya pendek, dan PRnya tidak banyak itu dapat menjadi yang tertinggi di PISA?
Walker mengamati dengan seksama untuk menjawab pertanyaan itu, terlebih ketika ia terlibat langsung menjadi guru di sekolah Finlandia. Ternyata, paling tidak ada lima hal yang menjadi benang merah keberhasilan Finlandia. Lima hal yang dimaksud adalah kesejahteraan, rasa dimiliki, kemandirian, penguasaan dan pola pikir.
Kelima hal tersebut tentunya memerlukan penjelasan yang lebih memadai dari sekedar tulisan ringkas saya ini. Akan lebih baik lagi jika teman-teman membaca langsung bukunya untuk mendapatkan pengalaman membaca yang mengasyikkan. **Boleh beli hard version, atau versi digitalnya seperti yang saya lakukan (untuk menghemat biaya dan waktu pengiriman hehe). Dalam tulisan ini saya akan berusaha mengulas sebisa yang dapat saya lakukan. Mari simak bersama ya.
Pertama, tentang kesejahteraan. Walker merasa kaget dimasa awal ketika ia pindah ke Finlandia. Ia mengamati betapa orang-orang disana terlihat santai menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Walker merasa kehidupan demikian bukanlah sesuatu yang penuh harapan, ia meyakini betul bahwa hidup dengan penuh energilah yang lebih menjanjikan. Namun seiring waktu, Walker mulai memaklumi dan perlahan terbawa pola hidup "yang terasa lebih slow tersebut". Hal ini berhasil dalam kehidupan sehari-harinya namun tidak berhasil dalam aktivitas di sekolah. Walker masih terbawa pola kerja di Amerika yang penuh energi dengan produktivitas tinggi. Hingga suatu ketika seorang mentor Walker di sekolahnya di Finlandia berkata "Tim, kamu adalah tuan dari pekerjaanmu dan bukan dipertuan pekerjaan".Jadi, apa sudah ada gambaran kelas seperti apa yang akan teman-teman ciptakan? Sudah dulu ya untuk poin pertama ini. Masih banyak penjelasan lainnya, tetapi cukuplah untuk tulisan malam ini, kita lanjut besok dengan poin yang kedua, yakni tentang rasa dimiliki. Insya Allah.
Thursday, September 3, 2020
Pantai Mandel Banggai Kepulauan, Surga Dunia di Tengah Indonesia
“Siapa sih yang masih meragukan keindahan alam Indonesia? Sebuah negeri yang disebut-sebut sebagai surga dunia. Pasir putih, laut biru, suara debur ombak, langit cerah dan sahut-sahutan cuitan burung bukanlah kata yang cukup menggambarkan betapa alam adalah sebuah harmoni indah pemberian Allah. Wujud syukur atas anugerah tersebut tentunya tidak akan cukup diwakilkan hanya dengan kata-kata, tetapi lebih dari itu, tindakan nyata menjaga alam dengan penuh tanggungjawab adalah sebuah keharusan”.
Tulisan saya kali ini berisi cerita perjalanan kesalah satu pantai di Banggai Kepulauan. Kami sering menyebutnya Pantai Mandel. Dari tempat tinggal saya, desa Sambiut, perjalanan menuju pantai Mandel dengan kendaraan motor dapat ditempuh kurang lebih 40 menit, tergantung seberapa laju kamu memacu kendaraan.
Wednesday, September 2, 2020
Tak Masalah Menjadi Orang Introver
Tuesday, September 1, 2020
Covid dan interaksi orang-orang
Apa yang lebih menyedihkan daripada kesusahan finansial dimasa pandemi ini? Tentunya banyak ya, namun saya menemukan bahwa kesedihan yang lebih mendalam adalah ketika kita menemukan begitu banyak emosi dalam diri yang bergejolak. Tentang sisi psikologis yang banyak teraduk-aduk, seperti menampar diri bahwa sungguh kita ini adalah manusia yang sering merasa bagai dewa. Ah ya, atau jangan-jangan hanya saya saja yang merasa begitu? Semoga kamu tidak ya, kawan.
Well, tinggal bersama orang lain dalam waktu yang lama tentunya butuh banyak penyesuaian. Hal-hal buruk yang dulunya belum sempat terlihat secara kasat mata, saat ini tiba-tiba terlihat dengan terang benderang sebab situasi covid meminta kita untuk tetap dirumah saja. Maka benarlah sebuah konsep sosial yang menyatakan, semakin lama seseorang berinteraksi, semakin banyak "kemungkinan konflik" yang akan ia lalui. Dan benar juga jika ada yang mengatakan, bahwa orang yang sangat mungkin menyakitimu adalah justru ia yang terdekat denganmu.
Saya jadi teringat kulit bawang yang terdiri dari lapisan-lapisan yang entah berapa jumlahnya, mungkin anak biologi bisa membantu menjelaskan, hehe. Tapi yang jelas, semakin kita mengupas lapisan-lapisan kulit bawang itu, akan semakin sampai kita pada lapisan intinya. Semakin lama kita bersama orang lain, akan semakin mungkin kita untuk sampai pada hal-hal inti dalam diri orang tersebut. Bisa berupa prinsip, nilai, pandangan hidup, cara berpikir, dan segala hal yang membentuk kepribadian dan perilaku orang tersebut. Semakin lama kita bersama dengan orang lain, semakin terbukalah siapa dan bagaimana karakter dan tingkah laku orang tersebut. Dalam hal ini, jika kita tak pandai menurunkan ego, maka konflik berkepanjangan akan mudah terjadi.
Lalu caranya menjalaninya bagaimana? Mengingat situasi pandemi ini belum juga berakhir, dan kita masih harus bersabar untuk lebih sering di rumah daripada keluyuran tak jelas. Berikut tips dari saya yang mungkin boleh kamu coba.
Ya, mulailah untuk saling terbuka, sesakit apapun hal yang akan kamu sampaikan, sampaikanlah, dengan tujuan untuk mendapat solusi. Memang awalnya akan sakit karena ternyata banyak lapisan-lapisan kehidupan kita yang terlihat buruknya dimata orang lain. Tapi bukankah memang manusia adalah tempatnya berbagai kesalahan? Nikmati kesakitan itu, terima, karena esok, situasi sakit itu bisa saja terulang kembali, namun kamu sudah siap karena telah pernah melaluinya.
Jadi, stay positif ya, berbulan-bulan lebih banyak dirumah memang menjenuhkan. Ada yang berkata, rumah adalah segala-galanya tempat untuk pulang. Namun rumah juga kadang kala tak sanggup lagi menampung egomu yang tinggi itu. Jadi, turunkan egomu wahai diri, ya.