Saturday, October 20, 2018

Hujan, teh manis, dan teras rumah

Sore ini hujan turun membasahi tanah Dramaga yang kering. Tetesan air dari langit itu terdengar sangat jelas, jatuh satu persatu ke atap rumah kecil ini. Lalu apa yang paling diingat ketika hujan turun? Semua anak rantau akan setuju, bahwa hujan adalah saat yang tepat dan waktu yang paling romantis untuk mengingat kampung halaman. Benarkah begitu? Duhai anak rantau bersuaralah...

Jika saya salah, marilah bersepakat bahwa hujan itu identik dengan air mata. Hahaha.  Mengapa? Karena hujan selalu memberi ruang pada bilik hati yang sepi untuk bersuara lantang tanpa ada yang bisa mendengar kecuali Tuhan dan kesepian itu. (Dududu, yang tidak sepakat silahkan angkat kaki).

Hujan itu syahdu, hujan itu candu. Suara tetesan airnya seakan mengajak memori untuk berlari menuju masa lalu. Terlebih masa lalu saat masih anak-anak. Hujan bagi anak desa kala dulu adalah teman setia, saat anak kota di marahi ayah ibunya bermain hujan, anak desa kala itu justru keluar rumah dengan riang gembira.

"Goyong....goyong..." kata-kata yang selalu terdengar jika hujan deras turun dikampung kami. Goyong goyong, kata yang sampai sekarang pun tidak ku mengerti artinya. Sebatas itulah anak-anak desa memaknai hujan, adalah tentang riang gembira dan berkumpul bersama.   

Lalu saat waktu bermain harus diakhiri, sekujur tubuh anak desa yang basah kuyup itu harus pulang. Ibu-ibu biasanya sudah siap dengan teh manis hangat dan sepiring pisang goreng. Hujan, teh manis dan teras rumah seperti satu paket komplit untuk menemani kehangatan keluarga. Teh hangat tentunya untuk menyegarkan badan si anak desa yang menggigil karena hujan, lalu pisang goreng untuk menjadikan hidupnya semakin manis, dan teras rumah adalah latar kejadian yang semakin menambah keromantisan keluarga.

Begitu kira-kira potret kehidupan desa kala dulu. Sebatas itu, sesederhana hujan turun membasahi atap-atap rumah. Bukanlah sederhana itu indah. Mari menjadi sederhana dalam dunia, lalu bahagia hingga ke surga.

Dramaga 20 Oktober 2018
Titip rindu untuk semua yang patut di rindui
Share:
Continue Reading →

Friday, October 19, 2018

Membaca Khadijah

Tulisan ini terinspirasi dari novel berjudul “Khadijah, Ketika Rahasia Mim Terungkap”. Sebuah tulisan dengan bahasa ringan, mudah dipahami, serta berisi hal penting namun kadang-kadang terabaikan oleh perempuan yang mengaku muslimah. Bacaan dan tulisan ini semoga menjadi pengingat untuk saya pribadi, bahwa diantara sekian banyak profil perempuan hebat yang sering tampil di layar media, Ibunda Khadijah r.a., jauh sebelum kita hadir ke dunia ini, telah memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi perempuan, bagaimana seharusnya mencintai, dan bagaimana melakukan sebuah pengabdian.

Sosok Khadijah adalah perempuan yang dihormati oleh orang-orang disekitarnya. Selain berasal dari keturunan yang juga dihormati, profil Khadijah sebagai seorang pedagang kaya adalah hal yang tidak dapat di tampik kebenarannya. Sebelum bertemu Rasulullah, Khadijah telah pernah sekali menikah dan dikaruniai dua orang anak. Hingga suami pertamanya wafat lalu beberapa masa setelah itu bertemulah Khadijah dengan Muhammad Al-Amin. Awalnya, apa yang dirasakan Khadijah terhadap Al Amin hanyalah sebatas relasi antara karyawan dan pemilik dagangan. Namun Allah menurunkan rasa kagum yang berbeda hingga akhirnya mereka menikah, lalu satu persatu keturunan pun lahir kedunia.

Pada setiap perjalanan dagang Muhammad Al-Amin, Khadijah adalah orang yang selalu berjaga menanti kabar sang suami. Khadijah baru akan bergembira saat kabar kepulangan suami telah sampai ke telinganya. Khadijah bahkan mencoba merasakan apa yang dirasakan suaminya dalam perjalanan dagang dengan cara ikut berjemur dibawah terik matahari. Khadijah, selalu khawatir dan menanti-nanti kepulangan Muhammad Al Amin yang telah menjadi suaminya. Hal itu adalah gambaran betapa tingginya cinta Khadijah terhadap suaminya Muhammad Al Amin.

Khadijah Al Kubra bertemu dan menikah dengan Muhammad Al-Amin sebelum risalah kenabian turun. Banyak yang tidak percaya ketika wahyu pertama itu turun, bahkan paman Nabi saat itupun menjadi orang yang tidak percaya pada keponakannya sendiri. Nabi kita dianggap gila saat itu. Lalu satu-satunya orang yang pertama percaya akan risalah kenabian itu ialah Khadijah. Tanpa keraguan sedikitpun Khadijah menjadi sosok yang selalu menenangkan Nabi Muhammad. Khadijah Al Kubra selalu menangkan dengan kalimat-kalimat yang meyakinkan, bahwa Al Amin adalah orang baik yang selalu jujur dalam berkata dan bertindak, maka risalah kenabian itu bukanlah sesuatu yang patut diragukan.

Khadijah adalah sosok dewasa dengan kecerdasan emosional yang tinggi. Ketajaman pikiran dan logikanya mampu menalar bahwa apa yang dikatakan Nabi Muhammad tentang hadirnya malaikat Jibril adalah hal yang benar. Khadijah selalu memberikan ketenangan bagi Muhammad Al Amin. Kadang-kadang dalam perjalanan, keheningan dan kebisuanlah yang terjadi diantara mereka. Hati mereka telah saling menyatu hingga kata-kata dirasa tak perlu lagi untuk diucapkan. Khadijah selalu siap menjadi ibu dan kekasih Nabi. Bahkan Allah s.w.t. dan malaikat Jibril pun menyampaikan salam kepada Khadijah. Nabi selalu merasakan ketenangan jika Khadijah berada di sisinya. Bahkan saat tanggung jawab Nabi Muhammad semakin besar, Khadjah sangat peka dengan mulai menghandle sendiri urusan perdangan keluarga.

Betapa sangat bijak dan dewasa sosok Khadijah Al Kubra, bahkan hingga wafat dan posisi Khadijah digantikan dengan sosok pendamping lain, Nama Khadijah tetap hidup dalam hati dan jiwa Rasulullah.

Suatu hari dengan penuh kesedihan Rasulullah menggoreskan empat buah garis ke tanah dengan cabang pohon kurma.

“Tahukah kalian apa arti empat garis ini?”
“Rasul Allah pastilah tahu yang sebenar-benarnya”, jawab mereka
“Empat garis ini menggambarkan empat wanita ahli surga yang paling mulia”

Khadijah putri Khuwailid
Fatimah putri Muhammad
Istri Fir’aun, putri Mudzahim, Asiyah
Dan Maryam putri Imran.

Semoga Allah meridhai mereka
Bogor, 19 Oktober 2018
Share:
Continue Reading →

Friday, October 12, 2018

Memberi Buah Terbaik

Hari sudah sore, kampus mulai sepi dan langitpun diselimuti gelap secara perlahan. Masih ada satu perempuan berdiam dalam ruangan kerjanya. Ah ya, ternyata kami berjodoh sore tadi, dosen pembimbing saya belum juga pulang. Rupanya Allah telah mengatur pertemuan kami meski sebelumnya tidak ada janji untuk saling bertemu.

“Ega, satu menit saja ya, kamu kan gak janjian”
“Ia Ibu maaf belum janjian, tapi satu menit boleh ya Bu. Kataku sambil sedikit nyengir”
“Boleh...., gimana-gimana, udah sampe mana kamu”


Dan akhirnya waktu satu menit itu berubah menjadi lima menit, sepuluh menit, hingga tak terasa hampir satu jam kami saling berbincang. Banyak hal kami diskusikan, tentunya yang utama adalah tesis, tesis, dan tesis. Tesis memang telah menjadi “momok” yang indah sekaligus menakutkan akhir-akhir ini. Terasa indah karena saya menikmati substansi topik dan penulisan tesisnya. Namun menjadi momok menakutkan karena belum juga ada persetujuan turun lapang dari dua dosen sementara waktu semakin berlalu. Banyak hal bertautan dalam hati dan pikiran. Intinya, tesis ini harus segera selesai agar tanggung jawab lain bisa diemban dengan baik.

Satu hal menarik yang beliau sampaikan sore tadi, bahwa menulis karya itu seperti kita memiliki pohon mangga. “Berilah buah mangga terbaik yang kamu punya, agar manfaat yang dirasakan orang yang menerimanya menjadi berkah dan terasa sampai ke jiwa. Kamu bisa saja seenaknya menerbitkan karya, tapi jika hasilnya adalah karya tanpa ruh, untuk apa?”
Share:
Continue Reading →

Monday, October 8, 2018

Titip Satu Cinta

"Titip Satu Cinta" sebenarnya judul sebuah novel. Tapi ingin saya jadikan judul pada tulisan ini. Saya kira kisah dalam novel tersebut menarik untuk dibagikan, meski saya pribadipun belum sempat membacanya
😄

Kebenaran, kebetulan, hari Ahad kemarin saya berkesempatan bertamu dengan penulisnya. Mereka,  Haviz Deni & Elmy Suzanna ternyata sepasang suami istri. Kisah dalam novel inipun adalah kisah mereka. Sebuah cerita perjuangan dari rasa sakit. Kisah yang menggugah hati, bahwa segala bentuk kedekatan kepada Allah adalah kenikmatan terbesar dan tertinggi dibandingkan dengan kenikmatan lain yang bersifat duniawi. 

Pagi menjelang siang kemarin saya bertemu dan berkumpul dengan sekitar tiga puluhan orang muslimah Rumah Qur'an Bogor. Mendengarkan langsung kedua penulis itu bertutur, bahwa manusia memang boleh punya target, manusia boleh memiliki impian dan keinginan. Namun, kadang-kadang yang terjadi tidak sejalan dengan keinginan kita sebagai manusia. Bisa jadi lebih baik dari impian tersebut (versi manusia), bisa saja bertolak belakang dengan mimpi dan harapan, atau bertentangan dengan cita-cita. 

Haviz Deni dimasa mudanya bercita-cita mendapat pendamping hidup yang baik dari segi agama, harta, paras wajah dan dari keturunan baik. Berkali-kali menjalani proses berkenalan (ta'aruf) tidak membuat Haviz Deni menemukan tautan hatinya. Selalu ada yang kurang pada diri perempuan yang dipertemukan itu, yang sering terjadi adalah kurangnya dari sisi agama. Sampai pada suatu waktu, perkenalan terjadi secara tidak sengaja dengan Elmy Suzzana. Disertai dengan segala kekurangan Elmy, Haviz ternyata mantap menautkan hati hingga sampai ke pernikahan. 

Secara logis, Ummi Elmy bukanlah sosok ideal yang diimpikan Haviz. Namun kekuatan iman justru menyatukan mereka. Elmy dengan kondisi orang tua divorce adalah jodoh yang telah di tentukan Allah. Hal yang paling membutuhkan perenungan panjang bagi Haviz adalah kondisi  sakit Ummi Elmy. Ya, Ummi Elmy harus menjalani cuci darah akibat penyakit ginjal akut. Ya, cuci darah dilakukan setiap dua minggu sekali. Selain membutuhkan biaya yang tidak sedikit, hal yang paling membuat dilema adalah kemungkinan penderita sakit ginjal untuk memperoleh keturunan. Sangat kecil kemungkinan untuk memiliki anak. Namun, Allah telah menaqdirkan pertemuan mereka, Allah jugalah yang akan mengatur segala jalan hidup manusia. Maka akhirnya mereka menikah.  

Banyak lika liku kehidupan yang dilalui pasangan suami istri. Namun pada intinya mereka selalu berusaha menjadi keluarga yang berbuat kebaikan. Terutama Ummi Elmy, kesakitan yang ia rasakan menjadi motivasi untuk selalu dekat dengan Allah. Segala hal yang diperintahkan Allah dan mampu ia kerjakan pasti akan ia kerjakan. Orang sakit itu dekat dengan kematian. Maka Ummi Elmy ingin menghembuskan nafas terakhirnya dalam kondisi meninggalkan banyak kebaikan, karena kelak amal kebaikan itulah yang akan menjadi penolongnya. 

Dan, ini poin penting yang membuat saya terharu. Bahwa ditengah usaha Ummy Elmy untuk bertahan hidup, Menjadi Hafizah adalah hal yang sedang upayakan.     

Satu pesan Haviz Deni kepada kami, 
"Serahkan hidupmu pada Allah. Jika sudah, maka yang terjadi itulah yang terbaik".  
Share:
Continue Reading →

Thursday, October 4, 2018

Jumat_KuMenulis: Parasosial Media Massa

Parasosial? Makanan jenis apakah itu? Well, ini sebenarnya review perkuliahan jaman semester I di kelas Psikologi Komunikasi. Kelas yang bikin mahasiswanya keder sama literatur asing dan presentasi yang memicu adrenalin. Hahha. Alhamdulillah udah terlewati lah ya, jadi pula satu-satunya yang dapat A di kelas (*sombong banget kamu Ga). Paling tidak, terbalaskanlah rasa nano-nano selama hampir 6 bulan berkutat dengan literatur dan presentasi.

Parasosial: kebetulan ini topik presentasi saya. Tema yang benar-benar baru bagi saya saat itu. Mungkin akan berbeda bagi kawan-kawan psikologi, karena sebenarnya parasosial termasuk kajian psikologi. Kenapa ada di subjek komunikasi? Ya karena yang namanya berbau-bau media adalah domain ilmu komunikasi, sementara efek media menyangkut juga sampai pada efek psikologis. Jadilah dua ilmu ini berkolaborasi menghadirkan tema menarik yang disebut “Interaksi Parasosial”.

Parasosial: saya memahami secara mudahnya gini “semakin sering kita terekspose alias terpapar informasi tentang sesuatu, atau seseorang –publik figur– dari media massa, akan semakin tinggi juga perasaan kita mengenal sesuatu atau seseorang tersebut”.

Misalnya, saking seringnya saya nonton berita, baca caption IG, atau baca cuitan twitter tentang Ibu Ratna Sarumpaet, maka saya akan semakin merasa mengenal sosok Ibu Ratna Sarumpaet tersebut. Padahal, belum tentu apa yang ditampilkan di media itu sesuai dengan keadaan / kondisi asli sosok yang kita maksud.

Atau contoh lain, semakin sering saya mendengar, membaca, atau melihat informasi tentang sosok Artis semacam Syahrini, Aril, Iqbal a.k.a Dilan :D, semakin juga saya merasa mengenal sosok tersebut secara mendalam. Padahal, apa yang ditampilkan media belum tentu sesuai dengan kondisi asli para publik figur tersebut.

Nah, adanya efek seperti ini berimbas dalam interaksi kita dengan orang-orang sekitar di dunia nyata. Contoh; frekuensi dan intensitas saya memperoleh informasi media massa tentang Aril sangat tinggi. Muncullah perasaan mengenal sangat dekat sosok Aril tersebut. Lalu disuatu hari, terjadi percakapan antara saya dengan teman saya: “tau gak sih si Aril tu sebenarnya bla bla bla, dia tuh emang kayak gitu bla bla bla”.  Kita berbicara seakan-akan sangat mengenal Aril, seakan-akan kita sangat dekat dengan Aril. Padahal, didunia nyata kita bahkan mungkin tidak pernah tau dengan pasti seperti apa sosok Aril yang sering kita liat dan dengarkan informasinya di media massa itu. Bisa jadi berbeda 100% antara apa yang ditampilkan media dengan kenyataannya.

Ya, sebenarnya bukan masalah besar sih, asal gak mempengaruhi kehidupan mendasar kita sebagai manusia yang hidup di dunia nyata (*nah loh, apaan sih Ga). Tapi saya menganggap ini sesuatu yang tidak boleh dibiarkan terlalu berlebihan. Apalagi sumber informasi kita saat ini sering kali dari media abal-abal dan bermuatan HOAX.

Mendingan banyakin baca buku tentang tokoh islam dari masa kejayaan peradaban Islam, bukunya pilih jangan yang abal-abal, cek dulu dari penulis dan penerbit mana tulisan tersebut terbit. Sebagai perempuan, saya menyarankan baca tentang ketokohan Ibunda Khadijah r.a., karena beliaulah Ibundanya para muslimah. Pendamping Rasul Allah, pendamping Nabi Terakhir, yang sosoknya tidak tergantikan bahkan oleh Siti Aisyah r.a.. Kebayang kan gimana fenomenalnya sosok beliau. Kalo gak suka baca buku bisa juga dapat infonya dari media massa lainnya semacam youtube, dan lain-lain.

Bagi yang mau baca lebih lanjut tentang parasosial, saya ada ebooknya, tapi kalo mau sekilas boleh cek link ini, https://books.google.co.id/books?id=_p-FCgAAQBAJ&pg=PT1126&lpg=PT1126&dq=21+first+century+psychology+communication+Eadie+william&source=bl&ots=8PLlcu3J6p&sig=T8JywbqIGLkZI8oBc74isnH0jQI&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwi8qMyBmu7dAhULMI8KHXb0CQUQ6AEwC3oECAIQAQ#v=onepage&q&f=false

Udah ya, hari Jumat nih. Banyakin shalawatnya. Masih pagi, jangan kebanyakan merenung. Semoga kita bertemu diruang nyata. Salam sayang ukhty.

Bogor, 05 Oktober 2018
Contact me on Facebook Megafirmawanti Lasinta or Instagram @megaflasinta  
Share:
Continue Reading →

Wednesday, October 3, 2018

Review: Theory And Language Of Climate Change Communication

Brigitte Nerlich, Nelya Koteyko, dan Brian Brown pada tahun 2010 mempublikasikan tulisannya tentang komunikasi lingkungan berkaitan dengan perubahan iklim. Tulisan ini diterbitkan dalam Advanced Review Edisi I Bulan Januari-Februari 2010 dengan nomor DOI: 10.1002/wcc.002. Review tersebut berisi ulasan tentang pentingnya penggunaan bahasa dalam komunikasi.

Mengkomunikasikan perubahan iklim adalah sesuatu yang rumit disebabkan dua hal. Pertama, bahwa perubahan iklim (climate change) adalah hal yang kompleks untuk dipahami. Kedua, bahwa proses komunikasi bukanlah sesuatu yang sederhana. Kedua hal ini menyebabkan proses mengkomunikasi perubahan iklim menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Lebih jauh lagi, komunikasi bukan hanya ditujukan untuk mengubah rasionalitas publik, tetapi bagaimana agar suatu masalah lingkungan menjadi menarik untuk dibahas dan memiliki makna.

Beberapa studi menyatakan bahwa komunikator perubahan iklim harus mengkolaborasikan aspek kognitif, emosional dan perilaku ketika menstimulus masyarakat untuk berperilaku yang ramah terhadap lingkungan. Nerlich dkk menilai, komunikasi tidak akan efektif jika hanya memperbanyak saluran komunikasi atau memperbanyak pesan lingkungan. Yang paling penting dalam komunikasi lingkungan adalah penggunaan bahasa.

Bahasa adalah instrumen praktis untuk menstimulus perilaku masyarakat. Bahasa adalah sinyal yang selalu digunakan masyarakat dalam kehidupannya. Banyak ahli bersepakat bahwa masalah perubahan iklim adalah isu krusial. Banyak juga ahli yang bersepakat adanya faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi perubahan perilaku. Namun masih sedikit yang meneliti tentang “apa yang seharusnya dibicarakan tentang perubahan iklim?”, "bahasa apa yang seharusny digunakan?".

Kesadaran tentang perubahan iklim memang telah ditingkatkan, informasi juga sudah cukup tersedia, tetapi mengapa masih sulit membentuk perilaku yang responsif terhadap perubahan iklim? Bagaimana peran komunikasi dalam perubahan perilaku? Komunikasi perlu menggunakan campuran mode dan strategi, dari verbal ke visual, dari kata yang diucapkan ke pesan digital. Pesan dari seorang komunikator lingkungan baru akan dipahami jika mereka memahami masyarakat, nilai-nilai masyarakat, ketakutan masyarakat, harapan, dan situasi komunikasi yang terjadi dalam masyarakat. Peran bahasa dalam hal ini adalah mengarahkan individu pada cara pandang tertentu dalam menafsirkan, mendefisnisikan, dan berfikir tentang perubahan iklim.

Metafora adalah salah satu pilihan bahasa yang dapat digunakan. Contoh penggunaan metafora adalah mengaitkan masa usia manusia yang tidak lama lagi disebabkan dampak perubahan iklim. Inti penggunaan bahasa metafora adalah analogi dalam menjelaskan perubahan iklim dan pentingnya penyesuaian perilaku dalam mengurangi dampak lingkungan. Contohnya "manusia mungkin dapat hidup tanpa gadget dalam genggaman, namun manusia tidak dapat hidup tanpa air".

Referensi 
Nerlich B, Koteyko N, Brown B. (2010). Theory And Language Of Climate Change Communication. Advanced Review. January-February 2010 (1). DOI: 10.1002/wcc.002

Bogor, 03 Oktober 2018
Contact me on Facebook Megafirmawanti Lasinta or Instagram @megaflasinta
Share:
Continue Reading →