Friday, September 28, 2018

Bumi Kita Sudah Tua, dan Kita Selalu Terlambat

Baru saja Indonesia digemparkan dengan berita kematian suporter bola, lalu sore ini berita bencana gempa di Sulteng semakin membuat duka. WAGrup yang biasanya sepi-sepi saja tiba-tiba ramai dengan informasi gempa. Ada yang menyebar video, ada yang saling menanyakan kabar, dan berbagai macam ekspresi lainnya. Semua terekam melalui dunia maya, lewat media.

Sebagai perantau dari Sulteng, saya memilih untuk tidak panik terlebih dahulu, berusaha berpikiran positif lalu membaca informasi dengan tenang dan teliti. Tentunya informasi pertama yang saya cari adalah dimana pusat gempanya? Berapa kekuatannya? dan yang paling penting apakah keluarga saya di Sulteng baik-baik saja? Atau malah terkena dampak?

Sangat cepat mendapatkan informasi pusat gempa, ternyata cukup jauh dari rumah tempat tinggal ayah dan ibu. Meski tak ada kabar dari mereka melalui WAGroup ataupun telpon dan SMS, setidaknya kabar dari beberapa kawan di kampung membuat sedikit kelegaan, terlebih lagi kabar dari adik yang tinggalnya di kabupaten tetanggapun mengabarkan bahwa semua baik-baik saja, katanya, “disini hanya sedikit getarannya”. Segala puji bagi Allah.

Lega rasanya, namun kejadian ini sungguh menggelitik hati dan pikiran saya, seperti benang-benang yang saling berkelindan. Susah untuk diurai. Hati sedih karena informasi dalam WAGroup menampilkan video-video dan cerita-cerita menyedihkan yang membuat hati pilu. Ada perasaan takut jika tiba-tiba gempa pada akhirnya melanda kampung halaman. Sementara pikiran berkecamuk karena  dampak bencana seharusnya dapat diminimalisir. 

Memori saat saya duduk di kelas 4 SD silam tiba-tiba muncul. Menggambarkan kembali situasi saat itu, kalau tidak salah tepat dihari Kamis sekitar pukul 12.00 WITA. Siang itu, kursi dan meja murid masih tertata rapi saat mata pelajaran sedang berlangsung. Lalu suara gemuruh disertai guncangan hebat datang menghampiri kami. Luluh lantak. Manusia berhamburan ke tanah lapang dengan tangis dan suara teriakan histeris. Anak-anak mencari ibunya. Ayah Ibu mencari anaknya. Ada korban meninggal. Ada korban luka. Ada rumah yang rata dengan tanah, masih juga ada berdiri kokoh dengan sedikit retak.  Waktu itu, tanah lapang yang sepi dipenuhi manusia. Masing-masing memuji nama Allah. Keluarga saya masih dilindungi. Alhamdulillah lengkap.

Tapi ketakutan menghampiri kami. Malam itu warga di desa (termasuk keluarga saya) mengungsi ke ketinggian, takut-takut jika terjadi tsunami. Malam kami dingin, hujan dan petir adalah kawan kami, datang silih berganti. Ayah ibu rela tak tidur untuk menghadirkan rasa aman kepada anak-anaknya. Ah ya, saya akhirnya hidup di pengungsian, tidak sekolah. Hanya bermain. Dan kita tidur di tenda selama kurang lebih tiga bulan. Tapi itu sudah terlewati. Sempat memori ini muncul kembali secara samar-samar saat saudara di Lombok merasakan hal yang sama. Namun sore hingga malam ini, memori itu jelas, mungkin karena saya memang sengaja menghadirkannya kembali. Ah, sudahlah.

***Rabbi. Ampuni kami jika kami terlalu melampaui batas-batas perilaku yang seharusnya. Ampuni kami jika kami begitu terlena dengan dunia. Inikah isyarat-Mu. Bahwa bumi kita sudah tua, dan kita (manusia) selalu terlambat. Izinkan kami untuk memperbaiki apa-apa yang dapat kami perbaiki. Hati, pikiran, perasaan, dan tentunya perilaku. ***

Baru saja tadi pagi saya menyimak kembali video ILC tentang kematian suporter Persija. Baru saja tadi pagi saya membaca tentang komunikasi resiko (risk communication) dalam komunikasi lingkungan. Kata Prof. Flor (sang penulis), kita selalu terlambat dalam menghadapi bencana. Seringkali “sesuatu” itu kita lakukan setelah merasakan dampak negatifnya. Contoh saja kematian suporter persija, haruskan menunggu ada nyawa yang hilang lalu semua pihak ramai bicara dan duduk bersama? Dalam kasus gempa, haruskan ada rumah-rumah warga luluh lantak dulu agar kita sadar lalu membangun sistem?

Ya, bahwa kejadian bencana memang ditangan Allah, saya yakin itu. Namun manusia dengan kapasitas (capacity) yang dimilikinya seharusnya mampu “meminimalisir” dampak bencana. Dalam perspektif komunikasi, inilah tugas komunikator lingkungan untuk melakukan komunikasi resiko. Komunikator lingkungan adalah semua pihak. Komunitas lokal, pemerintah, organisasi non pemerintah, termasuk didalamnya media.

Ada tiga jenis komunikasi resiko yang perlu dilakukan. Sebelum bencana terjadi, saat bencana terjadi, dan setelah bencana terjadi. Komunikasi lingkungan, –termasuk didalamnya komunikasi resiko bencana– adalah tentang mendidik (educate), memperingatkan (alert), mempengaruhi (persuade), dan menggerakkan (mobilize) agar dampak bencana dapat diminimalisir oleh siapapun yang merasa bertanggungjawab. Lalu kira-kira, kita (dalam posisinya masing-masing) sudah melakukan apa untuk meminimalisir dampak becana tersebut? atau, apa yang kita lakukan sebelum, saat, atau setelah bencana terjadi? 

Kita tidak ingin berpangku tangan bukan? Sistem peringatan dini (early warning system) terkait gempa di Indonesia memang masih sangat minim (bahkan belum terbangun dan terintegrasi dengan teknologi, kebijakan, dll). Namun, komunikasi yang kita lakukan pada dasarnya adalah alat untuk membentuk sistem tersebut.

Saat bencana terjadi, "kita" dapat berperan bijak dengan tidak menyebarkan informasi yang kebenarannya masih dipertanyan.  “Kita” dapat mengambil peran dengan tidak mendramatisi keadaan sehingga terlihat semakin menyedihkan. "Kita" pun dapat berperan bijak dengan tidak serta merta bertanya kepada orang-orang yang berada dilokasi dengan “ribuan” pertanyaan yang sebenarnya membuat mereka semakin panik.

“Kita” dapat menjadi menjadi bijak untuk tidak terlalu ramai berkoar-koar di dunia maya dan tidak menggunakan bahasa-bahasa apokaliptik (apocaliptic) yang cenderung melebih-lebihkan keadaan. Dan tentunya masih banyak peran “kita” yang dapat dilakukan dengan bijak, dengan baik. Dan yang paling penting adalah “Kita perlu  sama-sama membangun sistem peringatan dini terkait bencana di negara ini, kolaborasi antar aktor dan tentunya komunitas lokal setempat dengan kearifan lokal yang dimilikinya”.

Jangan menambah kepanikan dengan keributan di sosial media. Cukupkan informasinya. Pikirkan peran apa yang harus dimainkan. Dan lakukan.

Bogor, 29 September 2018
Maafkan celotehan ini
Share:
Continue Reading →

Friday, September 21, 2018

Tesis

Hai girls, dulu aku sempat nulis di blog, kalo suatu saat bakalan nyeritain tentang tesis lewat blog. Haha, ya gak penting-penting juga sih tesisku ini. Buktinya belum kelar-kelar. Ibarat padi, kayaknya sudah sampe panen kali ini tesis belum juga kelar. Tapi gak apa-apa lah ya. Hitung-hitung berbagi pengalaman dan suka duka. Sore ini sepertinya waktu yang tepat buat cerita tesis. Semoga yang sedang tesis macam saya semangatnya gak pernah kendor, karena ini adalah satu tangga kehidupan yang kita pilih, siapa yang nyuruh kuliah S2 coba?

Straight to the topic. Tesis yang lagi ku susun ini tentang perilaku ramah lingkungan. Awal mula, konon kisahnya, pada zaman dahulu kala, tema ini bukanlah pilihan topik tesisku. Tapi Setelah melalui proses panjang, bolak balik diskusi sama pembimbing yang Masya Allah luar biasanya, pilihan jatuh ke topik yang akhirnya ku sadari menjadi hal penting untuk di teliti. Apalagi di wilayah seperti Bogor, kota penyangga Ibu Kota.

Bogor adalah kota kecil yang cantik, tapi doi selalu disalahkan karena katanya gemar ngirim banjir ke Jakarta. Lah ya, bagaimana ya, wajar saja sih orang perilaku masyarakat disini gak ramah sama lingkungan. Buang sampah ke sungai semacam sudah jadi habit. Jika sudah begini, biasanya yang terjadi adalah mencari-cari pihak mana yang seharusnya bertangugng jawab.

Itu sekilas inti masalahnya girls. Ku yakin juga kalau perilaku masyarakat yang tidak ramah terhadap lingkungan bukan hanya terjadi di Kota Bogor, tapi di seluruh Indonesia. Anggap saja Bogor adalah perwakilan dari survey perilaku ramah lingkungan ini. Nah, terus solusinya bagaimana? Ini yang mau ku teliti. Tentang tentang proses komunikasi yang terjadi di masyarakat. Kalau kata Robert Cox dalam Environmental Communication, mengubah perilaku lingkungan suatu masyarakat itu harus dilakukan dengan mengubah persepsi masyarakat tentang lingkungannya. Banyak masyarakat yang belum sadar kalau lingkungan itu perlu dijaga. Biasanya masyarakat yang begini belum merasakan dampak kerusakan lingkungan tersebut.

Di Bogor misalnya, air masih banyak tersedia, banjir pun terjadi gak sering karena yang ujung-ujungnya yang merasakan banjir adalah di bagian hilir (Jakarta), jadi ancaman lingkungan belum begitu disadari. Persepsi ini berdampak dong ya pada pola perilaku lingkungan. Sah-sah saja buang sampah ke sungai, toh banjirnya juga yang merasakan bukan warga Bogor, mungkin begitu kali ya yang tertanam di benak masyarakat sini. Padahal, tanpa disadari, sungai yang kotor ujung-ujungnya berakibat pada biaya penyediaan air bersih. Semakin bersih sungai, semakin murah biaya PDAM untuk memberi air bersih. Semakin kotor sungai, maka akan semakin mahalpun biaya operasional PDAM untuk mengubah air sungai terkontaminasi jadi air yang bersih siap konsumsi.

Tapi kan kita gak pakai PDAM, kita pakainya sumur, jadi biaya gak mahal-mahal amat. Sumur ya juga sama saja, semakin terkontaminasi tanah dengan sampah, pengaruhnyapun semakin besar pada air sumur. Air sumur terkontaminasi ujung-ujungnya menyebab penyakit. Biaya lagi kan?

Disinilah tugas komunikasi lingkungan. Kata Prof. Flor, kita semua adalah komunikator lingkungan. Artinya, tidak peduli status, selagi kita memiiki kesadaran lingkungan, ajaklah tetangga atau anggota dalam komunitas kita untuk mencintai lingkungannya. Bisa dengan cara sederhana, misal, jangan membuang sampah ke sungai, memanfaatkan barang bekas. dan masih banyak bentuk perilaku ramah lingkungan yang lain.

Semoga tesis ini bermanfaat nantinya. Sudah ya, celotehnya cukup dulu. Mau cari makan.    
Share:
Continue Reading →

Gagal Paham

Beberapa kawan sering mengeluh tentang masalah yang tengah dihadapinya. Sampai-sampai ada yang dapat gelar ms/mr ngeluh saking seringnya mengeluh hehe. Dikit2 ngeluh, dikit2 bete,dikit2 galau. Oke, menurutku sih itu manusiawi, bahkan Ilahi Rabbi pun menyatakan manusia itu penuh dengan keluh dan kesah. Namanya juga manusia ya kaann, wajar, kita bukan malaikat. Tapi ya tapi, gak gitu-gitu juga laaah. Masa ia separuh hidup kita mau dipenuhi dengan keluh dan kesah, setiap hari malah, gak ada damai-damainya coba, capek dong ujung-ujungnya. Daaaan, yang paling penting buat dikoreksi adalah cara kita mengekspresikan keluhan itu. Ada yang sukanya main kode-kodean di sosmed, seakan manggil-manggil kawannya trus bilang “hei, aku lagi galau, hibur aku dong”, atau mungkin kode lainnya “aku lagi sedih, aku butuh sandaran”. Simbol-simbolnya kadang bikin pembaca geleng-geleng kepala. Ya kenapa atuh harus gitu, emang kita gak punya Allah?  Kemana rasa harap kita kepada sang Ilahi? Bukannya akan lebih damai menggelar sajadah lalu bersujud?

Masalah di dunia gak akan pernah selesai, karena kata Allah memang demikian. Dunia adalah tempat ujian untuk tahu siapa yang benar-benar beriman, atau siapa yang pada akhirnya lalai. Jadi wajar saja jika masalah tak kunjung usai, karena memang kita sedang berlatih. Berlatih menjadi pemenang atau jadi pecundang. Cara kita mempersepsikan masalah perlu dirubah. Masalahnya mah tetap ada, berganti jenis saja, masalah keluarga, ekonomi, pendidikan, de el el. Tapi cara kita memandang masalah kan kita yang atur. Cara kita berpikir, cara kita merasa. Itu persepsi yang ada dalam diri loh, bukan ditentukan oleh hal-hal lain diluar diri kita.
Masa ia kita nyerah sama masalah dan nyari penyelesaian ke tempat yang tidak seharusnya. Boleh lah ya kalo tempat ceritanya ke orang-orang terpercaya yang bisa ngasih “pertimbangan” jalan keluar. Lah ini, sosmed loh. Tempat dimana yang ada hanyalah maya. Atau malah kita cerita ke orang yang salah, dalam sekejap saja keluhan yang kita ceritakan menyebar luas dalam circle pertemanan. Lalu setelah itu kita tersadarkan kalau ternyata gak semua orang bisa jaga kepercayaan. Masih mau? Aku sih enggak. Dunia kejam kawan. Yang ngaku teman belum tentu bisa jaga kepercayaan. Yang katanya “gak akan bilang-bilang” banyak terbukti jadi ember. Tanya kenapa? Karena gak semua orang tahu apa itu arti kepercayaan.  Wis yo, iki mung celotehku kok.
Share:
Continue Reading →

Friday, September 14, 2018

Sebuah Fiksi; Sentuh Aku

Matahari menyinari langkah kakiku pagi ini. Lembut, selembut cinta Ilahi kepada makhluk-Nya. Ah, Allah, maafkan hamba jika pagi ini bukan senyuman manis yang kusajikan untuk para sahabat. Wajah sendu sisa tangis tadi malam masih tak bisa kusembunyikan. Seperti halnya tanda tanya dalam benak yang menghantui hidup selama hampir dua puluh tahun. Mengapa harus aku? Mengapa harus ibuku? Mengapa bukan orang lain? Ya Ilahi.., sudah kucari-cari memori kebaikan itu, namun sentuhan ibu yang kata orang-orang begitu lembut tidak terekam dengan baik dalam memori otakku. Satu-satunya kenangan yang tersisa antara aku dan ibuku adalah tentang kekerasan. Cacian tajam kala itu seperti masih terngiang-ngiang ditelinga. “dasar anak setan”, “binatang”. Atau tamparan keras yang melayang di pipi kanan dan kiri, pun masih sangat jelas terasa. Bukan hanya sakit di pipi, tapi terasa menusuk tajam kerelung jiwa, membuat hati ini terluka menganga.

Kata orang, kasih ibu tiada batasnya. Kata orang juga, buaian ibu itu penuh kelembutan, penuh kehangatan. Lalu, ada apa denganku? Disaat orang-orang memuja-muja sosok ibu, aku justru ingin berlari jauh untuk tidak berada dalam cengkraman kata-kata tajamnya, untuk dapat terhindar dari sakitnya tamparan tangannya. Berusaha ku simpan baik-baik kekosongan jiwa, berusaha ku tutup memori-memori tentang kekerasan ibu. Namun waktu selalu meminta kembali, memori kelam itu selalu meminta untuk diingat. Seringkali pada malam-malam yang terasa panjang dan gelap, air mata jatuh tak tertahan, mengalir sederas-derasnya sampai kering, hingga tubuh letih, lalu mentarilah yang menyadarku keesokan hari. Mengapa semua ini terjadi? apakah karena aku bukanlah anak yang diharapkan?

[bersambung]
Share:
Continue Reading →