Saturday, September 30, 2017

Sudah Jam Tiga Pagi


Rehat sejenak dulu deh buat nge-refresh otot yang lagi kaku. Kakunya bukan main, selain karena lama dipake duduk, lama juga dipake buat mikir. Mikir timeline biar segera selesai beromantis ria dengan si doi tesis haha. Dan mikirin juga, ini jurnal-jurnal full english mau diapakan biar bisa jadi proposal. Ya ampun. Jadiin motivasi aja deh biar segera bisa beromantis dengan doi selain tesis #eh.
Tetiba jadi inget ayat ini:

Kamu tidak perlu meminta mempercepat
Kamu tidak perlu meminta untuk diperlambat

Allah maha mengetahui kapan waktu yang tepat itu tiba
Lagian ngapain juga sih buru-buru agar permintaan kita dipercepat
Kalau Allah bilang belum saatnya ya bakalan gak terjadi
Kalo Allah bilang sabar ya kudu sabar.

Jadikan masa bermesraan sama tesis ini sebagai ajang latihan. #Haha. Latihan untuk menyelesaikan tanggung jawab. Latihan untuk menuntaskan pilihan. Latihan sabar. Latihan berani. Latihan ini. Latihan itu. Banyak deh pokoknya.
Kebayang kan kalo tesis aja gak kelar. Masa mau minta tanggung jawab yang lain. Misalnya
Minta tanggungjawab jadi istri. Tanggung jawab jadi menantu (semoga dapat menantu yang gak posesif sama anaknya-suami saya nantinya-amin). Apalagi tanggungjawab jadi ibu. Aigo. Satu-satu dulu aja biar tugasnya tuntas dan gak setengah-setengah. Slow but sure.

Lanjut nulis dulu ye. Semoga kita bertemu di ruang nyata. [Ega]
Share:
Continue Reading →

Thursday, September 28, 2017

Aku Tersentuh Cinta

Bukunya datang lebih cepat dari yang kuduga, semoga saja kayak Jodoh #eh


Sedari pagi hingga sore hari ini , saya beraktivitas cukup padat. Mulai dari naik turun tangga ke lantai lima kampus, ke perpustakaan, ke lokasi penelitian, ke perpustakaan lagi, dan finnaly kembali naik turun tangga dari dan ke lantai lima, menghadiri kelas bahasa inggris, lalu pulang ke kos saat magrib tengah menjelang.

Dan, hal yang tidak saya sangka2 datang. Pesanan buku yang katanya dua pekan lagi baru tiba, ternyata datang lebih cepat, bahkan sangat cepat dari yang saya pikirkan. Ah, jodoh juga begitu kan, datang disaat yang bahkan tidak kita sangka-sangka, xixixiixi, amin. Semoga.

Sudah saya baca bukunya, sudah hampir setengah jalan. Sudah sampai bab dua

Dan, ini kesannya

Bab 1....
Hanya bisa berucap, astagfirullahal 'azim

Bab 2...
Lahaula walaa quwwata illa billahil'aliyyul 'azim

Bab 3...

Bab 4...

Entah kalimat-kalimat apalagi dalam buku ini yang akan membuat mata basah.
Terimakasih Allah.
Maafkan hamba.
Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolonganmu.
Dan cukuplah Allah bagiku saja.

Buku ini rekomended, silahkan beli dan baca sendiri. Lalu temukan kesan mendalam apa yang kamu dapatkan. Saya mau lanjut baca dulu ya.
Salam.

Semoga kita bertemu diruang yang nyata, Ega


Share:
Continue Reading →

Tuesday, September 26, 2017

Kebahagiaan yang Bergeser

Jadi jadi jadi, sebenarnya saya sudah mulai ngeblog sejak tahun 2008 silam. Tetapi aktivitas blog ini berhenti karena hadirnya sosial media yang sungguh sangat menggiurkan penggunanya. Mau kontak-kontakan dengan kawan lama, tinggal searching, add, lalu menunggu approve, dan langsunglah percakapan bisa dimulai. Bahkan, hanya dengan sekali klik saja; “follow” kita sudah bisa mengetahui kabar-kabar terupdate dari kawan-kawan lama kita. Amazing kan? Yes, its amazing.
Tapi, apa ya kira-kira dampak berantai yang disebabkan dengan penggunaan sosial media tersebut? I am afraid, but i agree with somebody who told that social media have a psychology negative impact. This is the reason why?

Sosial media saat ini sepertinya telah melampau batas-batas yang saya yakin tidak pernah terpikirkan oleh penciptanya sebelumnya. Sebut saja facebook yang awalnya dipergunakan untuk benar-benar saling bertukar pesan dan informasi, saat ini dijadikan media promosi untuk produk-produk tertentu. Tawaran MLM merajalela dan bahkan ada orang-orang yang sengaja menggunakan facebook sebagai akun jualan. Jadi, ada fungsi yang bergeser. Hal ini kadang-kadang menimbulkan ketidaknyamanan. And it is the real how i feel. Gak suka aja kalo ada akun yang jualan. Mau di delete juga sih gimana ya, orang yang jualan juga teman sendiri melalui akun pribadinya (bukan fanspage atau akun jualan). Jadilah postingan-postingan iklan “hard selling” tersebut saya biarkan berkeliaran diberanda setiap kali saya menengok halaman facebook. okke, okke, skip aja deh karena saya masih bisa memilih untuk memfilter informasi mana yang layak dikonsumsi dan informasi mana yang cukup saya abaikan saja.

Nah, ada lagi jenis sosial media lain yang lagi ngehitz, “instagram”. Saya ingat betul deh, dulu awal-awal pakai instagram itu memang benar-benar murni ingin menyimpan foto, berbagi kebahagiaan, atau mengomentari tentang fenomena tertentu, atau something yang menurut saya masih bermanfaat saat itu (dulu). Itu sih baik. Tapi, yang terjadi saat ini lagi-lagi telah merambak pada hal yang tidak kita (saya) sangka-sangka. Yakni postingan yang menjadi sebab orang berlaku negatif tentang satu hal. Kalaupun tidak sampai pada “perilaku”, paling tidak pada “pikiran negatif” tertentu.

Sepanjang pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Sesuatu yang baik akan selalu mendapat komentar buruk dari orang lain, apalagi yang sudah jelas-jelas buruk. Maka sebuah postingan memang pada dasarnya adalah netral, orang yang membacalah yang akan memberikan persepsinya masing-masing. Dalam hal ini saya sepakat, semua dikembalikan pada prinsip masing-masing dalam menilai suatu postingan tertentu. Tergantung yang membaca dan melihat.

But, in the other side, setelah saya renungkan dan pikirkan baik-baik. Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lebih bijak? Untuk tidak menjadikan postingan kita sebagai sumber ketidaknyamanan orang lain.

Kita sering kan ya? memposting foto sedang jalan-jalan ke tempat wisata tertentu, atau nongkrong di cafe tertentu, dan lain sebagainya. Disatu sisi memposting foto tertentu adalah kebahagiaan untuk diri kita pribadi, bahwa hidup itu perlu dinikmati dengan berbagi kebahagiaan. Tapi, sadarkah kita bahwa postingan itu kadang-kadang menimbulkan persepsi yang berdampak negatif pada diri kita sendiri. Sering kita dengar ada yang di cap “pamer” karena terlalu sering memposting foto lewat akun instagram, atau ada juga nanti yang dikatai “galau” terus karena isinya kalimat-kalimat pata hati. And anything else, yang pasti sangat beragam, yang postingan tersebut bisa jadi menjadi sebab seseorang berpikir negatif terhadap diri kita, padahal sesuatu yang negatif terebut bukan sama sekali menjadi tujuan kita.

Memang sih, ujung-ujungnya dikembalikan sebagai urusan yang membaca postingan tertentu saja, tapi alangkah indahnya jika bijak sebelum bertindak. Dan ini yang saya lakukan sebelum memposting sesuatu. Menanyakan kembali pada diri beberapa pertanyaan ini:

Penting gak sih saya posting foto ini? kalau penting, pentingnya untuk diri saya sendiri atau untuk orang lain? Kalau dirasa “sedikit penting” untuk diketahui orang lain, maka bolehlah dishare.

Apa ada unsur edukasi yang saya tularkan melalui foto ini? Social media is an open resource that all people can have acces with following you. Ingat-ingat lah kembali bahwa manusia yang baik itu adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Jadi kalau posting foto hanya untuk dibilang keren, kece, oke, cantik, kaya, dan sejenisnya. Koreksi lagi deh niat kita. Masa ia konsep kebahagiaan kita hanya bersumber dari postingan foto instagram yang banyak di “like” oleh followers kita? Think again yuk, think smart.

Kira-kira ketika melihat foto ini, orang-orang akan berprasangka negatif tidak. Atau kira-kira bakal ada yang sedih gak ketika melihat postingan kita? Nah, ini nih. Kadang-kadang saya takut banget memposting sesuatu misal abis ikut seminar ini, abis jalan-jalan ke tempat ini, abis ketemu sama ini, abis makan ini itu. Takutnya, karena bisa jadi apa yang saya posting sebenarnya adalah hal yang tidak dimiliki oleh orang lain dan mereka sedang dalam posisi yang sulit untuk berada diposisi saya. 

Misalnya saja, saya ada teman yang pengeeeennnn banget kuliah, tapi ya karena beliau memang dari keluarga ekonomi menengah kebawah, dan karena beliau harus banting tulang menggantikan ayahnya, maka kesempatan untuk kuliah itu ia gugurkan demi bekerja menghidupi keluarganya. Simpel memang, dan kalau kita mau “masa bodo” dengan hal-hal ini jelaslah mudah, gampang saja kok mengabaikan.

Serba salah memang, kadang-kadang kita bertindak untuk memotivasi orang lain. Tapi disatu sisi justru bukan motivasi yang mereka dapatkan. Melainkan perasaan kurang beruntung karena tidak bisa berada pada posisi yang kita miliki saat ini. Jangan sampai satu postingan kita menjadi penyebab satu atau dua orang menjadi tidak bersyukur atas kondisi yang tengah ia hadapi, jangan sampai postingan kita berdampak pada satu atau dua orang bersedih karena ia tidak bisa melakukan seperti apa yang kita lakukan.

Koreksi diri lagi yu, jangan-jangan konsep kebahagiaan kita sudah bergeser dengan hanya sekedar mendapat like yang banyak dari followers kita. Jangan konsep kebahagiaan kita tengah bergeser lebih dangkal dengan hanya sekedar menguploud foto terbaru kita dilokasi tertentu. Dan jangan sampai banyak amalan-amalan hati (niat) kita tercampuri karena media sosial yang undercontrol ini. 

Udah ah ngocehnya, note terakhir; itulah mengapa saya sedang mengurangi posting foto-foto di akun sosial media. padahal kalau mau di update mah banyak. Itulah sebabnya mengapa saya kembali ngeblog, karena lewat blog, kita bebas berekspresi. 

Hanya orang-orang yang ingin tahu kabar kita lah yang akan berkunjung. Blog bukan instagram yang semua followers kita bisa ngelike ketika foto nongol di timeline mereka. See?
Semoga kita bertemu di ruang yang nyata ya [Ega]

Share:
Continue Reading →

Percaya Saja Sama Allah

Kebekuan memikirkan proposal tesis hari tiba-tiba mencair setelah mengobrol panjang lebar dengan perempuan luar biasa yang tiada tandingannya didunia ini, mama. Beliau menelpon setelah menerima sepaket gamis dan jilbab yang kukirim beberapa hari lalu. Ahaha, pasti harga gamis dan jilbabnya tidak seberapa, tapi Insya Allah bisa menjadi penyebab senyum sungging dari wajah sang mama. Amin. Heningnya perpustakaan siang itu semakin menambah sejuknya percakapan kami. Rasanya syahdu selalu dan menangkan hati.

“Bagaimana aktivitasnya?”
“Seperti biasa, sekaang lagi diperpus ma”
“Tesis jadinya di Bogor aja kan?”
“He’em, biar komunikasi sama dosennya mudah dan lancar”
“Okke, fokus ya, Insya Allah segera lulus dan dipermudah jodohnya”
“Amin. Tapi tumben ini mama bahas-bahas jodoh”
“Iya lah.., tenang aja, sudah mama doakan, asal kamunya yakin, jodoh itu misteri”

Ada jeda seketika, dan setelah percakapan itu, mau bilang amin saja rasanya saya mau nangis, malah sebenarnya sudah berkaca-kaca. Tapi berusaha tegar-tegar saja. Alay sih emang, tapi memang lagi rada spaneng gegara tesis ini yang belum maju-maju.

Tetiba saya teringat saat dulu dimasa-masa berjuang untuk mendapat beasiswa. Mama saya selalu bilang, kamu yakin kan bakal lulus beasiswa? Karena harus kuat loh, antara keyakinan anak dan doa orang tua. Orang tua sudah bersemangat berdoa, tetapi anaknya kurang yakin sama Allah, mau bagaimana coba? Gak akan ketemu. Makannya yakinkan hati dan fokus kalau kamu benar-benar mau S2. Dan, terbukti saat pengumuman beasiswa, nama saya tertera dengan sangat sangat jelas. Ya, saya lulus beasiswa untuk S2. Kuncinya yakin dan fokus.

Hari ini kata-kata mama saya terulang lagi. Soal tesis yang harus diseriusi dan diyakini akan dimudahkan oleh Allah. Dan soal jodoh yang juga harus diyakini akan datang. Jadi, percaya saja sama Allah. 

Keep Writte, semoga kita bertemu diruang yang nyata
[Ega]
Share:
Continue Reading →

Wednesday, September 20, 2017

Perempuan dan Air

Foto diambil saat perjalanan menjajaki lokasi penelitian, di Bogor-Jawa Barat. 
Menggambarkan potret kehidupan perempuan di bantaran sungai yang masih mencuci pakaiannya di sungai. 
Akhir-akhir ini bacaan saya sedang tertuju pada jurnal-jurnal tentang pengelolaan sumber daya air dan kaitannya dengan “perempuan”. Dan, betapa semakin bangganya saya menjadi salah satu bagian dari entitas yang memegang kendali atas kualitas air suatu bangsa. Sebuah Jurnal, saya lupa terbitan mana, tapi dokumennya masih saya simpan rapih, menyatakan bahwa kualitas air adalah salah satu indikator yang dapat menunjukkan kualitas pembagian peran (gender). Dalam hal ini saya menyederhanakan (atau jangan-jangan membuatnya menjadi rumit ya?) bahwa kualitas air akan mencerminkan bagaimana kualitas perempuan.

Well, berkaca pada aktivitas sehari-hari. Tak bisa dipungkiri bahwa yang seringkali melakukan kontak dengan air nyatanya adalah kaum perempuan (rata-rata rumah tangga di indonesia memang begini kan?). Mulai dari mencuci pakaian, aktivitas masak memasak, termasuk mencuci piring, mayoritas dilakukan oleh para perempuan.

Kita agak sedikit melompat ke salah satu sumber daya air, yaitu sungai. Salah satu penyebab kualitas air sungai tidak mencapai standar baku air adalah tingginya tingkat pencemaran oleh limbah. Bisa jadi limbah industri, ataupun limbah rumah tangga. Kedua sektor ini, rata-rata di dominasi oleh ibu.

Sebut saja aktivitas memasak dan mencuci yang ujung-ujungnya menghasilkan limbah. Jika limbah-limbah tersebut tidak dibuang melalui saluran yang semestinya, dan justru dibuang ke aliran air sungai, maka yang selanjutnya akan tercemar adalah air sungai itu sendiri . Secara otomatis akan menurunkan kualitas air tersebut. Padahal, salah satu sumber utama air bersih dan air minum bagi masyarakat adalah dari air sungai.

Poinnya adalah, perempuan yang berkualitas akan tahu kemana seharusnya mengalirkan limbah yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, termasuk dalam satunya kualitas air. Jika perempuannya justru berlaku hal-hal negatif yang merugikan, maka wajarlah jika kualitas air tidak seperti yang diinginkan.

Bogor, 21-19-2017
*btw, saya ngomong apa ya? Seriusan, ini curcol ditengah proposal tesis yang belum juga selesai
Share:
Continue Reading →

Saturday, September 9, 2017

Semangat itu dari dalam diri, bukan menunggu orang lain


Ah, babak baru kehidupan tengah dimulai. Angka sekian-sekian yang baru saja saya sandang tanggal 8 september kemarin cukup membuat otak megap-megap memikirkan tentang masa depan.Hahaha. Rada sensitif memang, angka yang dianggap rawan untuk seorang perempuan yang masih saja sendiri. Dan, semuanya menjadi begitu kompleks dengan tesis yang juga mulai menampakkan kerumitannya.

Senin besok saya harus bertemu pembimbing dan baru satu paragraf saja yang tertuang dalam latar belakang. Ya, senin besok. Senin yang hanya dua hari lagi akan tiba. Am i crazy? No i think, kata temen saya masa-masa ini memang masa yang bisa-bisa bikin oleng kalo iman dan semangatnya gak kuat. Kata temen saya juga, dia mengalami galau berkepanjangan saat berada di posisi saya saat ini. Saat angka itu merubah status usia, dan saat tesis yang juga manggil-manggil untuk segera diselesaikan.

Beruntunglah kawan-kawan yang kuliah S2nya berasal dari beasiswa orang tua. At least beban keuangan akan dijamin sampai kawan-kawan lulus dengan bahagia. But, you know about me? Mahasiswa S2 yang kuliah dari beasiswa memiliki kekhawatiran yang lebih tinggi. Saya harus membiaya kuliah sendiri jika dalam dua tahun gelar magister itu tidak saya dapatkan. Ahahaha, semakin depresi saja rasanya. 

Tapi tapi tapi....., saya harus semangat kan, jangan menunggu orang lain menyemangati, semangat itu datangnya dari dalam diri. Banyak yang menunggu didepan sana. Terutama diri sendiri yang menunggu terwujudnya apa yang pernah dicita-citakan.

Yuk Ah TESIS !!!
Share:
Continue Reading →