Jadi jadi jadi, sebenarnya saya sudah mulai ngeblog sejak tahun 2008 silam. Tetapi aktivitas blog ini berhenti karena hadirnya sosial media yang sungguh sangat menggiurkan penggunanya. Mau kontak-kontakan dengan kawan lama, tinggal searching, add, lalu menunggu approve, dan langsunglah percakapan bisa dimulai. Bahkan, hanya dengan sekali klik saja; “follow” kita sudah bisa mengetahui kabar-kabar terupdate dari kawan-kawan lama kita. Amazing kan? Yes, its amazing.
Tapi, apa ya kira-kira dampak berantai yang disebabkan dengan penggunaan sosial media tersebut? I am afraid, but i agree with somebody who told that social media have a psychology negative impact. This is the reason why?
Sosial media saat ini sepertinya telah melampau batas-batas yang saya yakin tidak pernah terpikirkan oleh penciptanya sebelumnya. Sebut saja facebook yang awalnya dipergunakan untuk benar-benar saling bertukar pesan dan informasi, saat ini dijadikan media promosi untuk produk-produk tertentu. Tawaran MLM merajalela dan bahkan ada orang-orang yang sengaja menggunakan facebook sebagai akun jualan. Jadi, ada fungsi yang bergeser. Hal ini kadang-kadang menimbulkan ketidaknyamanan. And it is the real how i feel. Gak suka aja kalo ada akun yang jualan. Mau di delete juga sih gimana ya, orang yang jualan juga teman sendiri melalui akun pribadinya (bukan fanspage atau akun jualan). Jadilah postingan-postingan iklan “hard selling” tersebut saya biarkan berkeliaran diberanda setiap kali saya menengok halaman facebook. okke, okke, skip aja deh karena saya masih bisa memilih untuk memfilter informasi mana yang layak dikonsumsi dan informasi mana yang cukup saya abaikan saja.
Nah, ada lagi jenis sosial media lain yang lagi ngehitz, “instagram”. Saya ingat betul deh, dulu awal-awal pakai instagram itu memang benar-benar murni ingin menyimpan foto, berbagi kebahagiaan, atau mengomentari tentang fenomena tertentu, atau something yang menurut saya masih bermanfaat saat itu (dulu). Itu sih baik. Tapi, yang terjadi saat ini lagi-lagi telah merambak pada hal yang tidak kita (saya) sangka-sangka. Yakni postingan yang menjadi sebab orang berlaku negatif tentang satu hal. Kalaupun tidak sampai pada “perilaku”, paling tidak pada “pikiran negatif” tertentu.
Sepanjang pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Sesuatu yang baik akan selalu mendapat komentar buruk dari orang lain, apalagi yang sudah jelas-jelas buruk. Maka sebuah postingan memang pada dasarnya adalah netral, orang yang membacalah yang akan memberikan persepsinya masing-masing. Dalam hal ini saya sepakat, semua dikembalikan pada prinsip masing-masing dalam menilai suatu postingan tertentu. Tergantung yang membaca dan melihat.
But, in the other side, setelah saya renungkan dan pikirkan baik-baik. Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lebih bijak? Untuk tidak menjadikan postingan kita sebagai sumber ketidaknyamanan orang lain.
Kita sering kan ya? memposting foto sedang jalan-jalan ke tempat wisata tertentu, atau nongkrong di cafe tertentu, dan lain sebagainya. Disatu sisi memposting foto tertentu adalah kebahagiaan untuk diri kita pribadi, bahwa hidup itu perlu dinikmati dengan berbagi kebahagiaan. Tapi, sadarkah kita bahwa postingan itu kadang-kadang menimbulkan persepsi yang berdampak negatif pada diri kita sendiri. Sering kita dengar ada yang di cap “pamer” karena terlalu sering memposting foto lewat akun instagram, atau ada juga nanti yang dikatai “galau” terus karena isinya kalimat-kalimat pata hati. And anything else, yang pasti sangat beragam, yang postingan tersebut bisa jadi menjadi sebab seseorang berpikir negatif terhadap diri kita, padahal sesuatu yang negatif terebut bukan sama sekali menjadi tujuan kita.
Memang sih, ujung-ujungnya dikembalikan sebagai urusan yang membaca postingan tertentu saja, tapi alangkah indahnya jika bijak sebelum bertindak. Dan ini yang saya lakukan sebelum memposting sesuatu. Menanyakan kembali pada diri beberapa pertanyaan ini:
Penting gak sih saya posting foto ini? kalau penting, pentingnya untuk diri saya sendiri atau untuk orang lain? Kalau dirasa “sedikit penting” untuk diketahui orang lain, maka bolehlah dishare.
Apa ada unsur edukasi yang saya tularkan melalui foto ini? Social media is an open resource that all people can have acces with following you. Ingat-ingat lah kembali bahwa manusia yang baik itu adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Jadi kalau posting foto hanya untuk dibilang keren, kece, oke, cantik, kaya, dan sejenisnya. Koreksi lagi deh niat kita. Masa ia konsep kebahagiaan kita hanya bersumber dari postingan foto instagram yang banyak di “like” oleh followers kita? Think again yuk, think smart.
Kira-kira ketika melihat foto ini, orang-orang akan berprasangka negatif tidak. Atau kira-kira bakal ada yang sedih gak ketika melihat postingan kita? Nah, ini nih. Kadang-kadang saya takut banget memposting sesuatu misal abis ikut seminar ini, abis jalan-jalan ke tempat ini, abis ketemu sama ini, abis makan ini itu. Takutnya, karena bisa jadi apa yang saya posting sebenarnya adalah hal yang tidak dimiliki oleh orang lain dan mereka sedang dalam posisi yang sulit untuk berada diposisi saya.
Misalnya saja, saya ada teman yang pengeeeennnn banget kuliah, tapi ya karena beliau memang dari keluarga ekonomi menengah kebawah, dan karena beliau harus banting tulang menggantikan ayahnya, maka kesempatan untuk kuliah itu ia gugurkan demi bekerja menghidupi keluarganya. Simpel memang, dan kalau kita mau “masa bodo” dengan hal-hal ini jelaslah mudah, gampang saja kok mengabaikan.
Serba salah memang, kadang-kadang kita bertindak untuk memotivasi orang lain. Tapi disatu sisi justru bukan motivasi yang mereka dapatkan. Melainkan perasaan kurang beruntung karena tidak bisa berada pada posisi yang kita miliki saat ini. Jangan sampai satu postingan kita menjadi penyebab satu atau dua orang menjadi tidak bersyukur atas kondisi yang tengah ia hadapi, jangan sampai postingan kita berdampak pada satu atau dua orang bersedih karena ia tidak bisa melakukan seperti apa yang kita lakukan.
Koreksi diri lagi yu, jangan-jangan konsep kebahagiaan kita sudah bergeser dengan hanya sekedar mendapat like yang banyak dari followers kita. Jangan konsep kebahagiaan kita tengah bergeser lebih dangkal dengan hanya sekedar menguploud foto terbaru kita dilokasi tertentu. Dan jangan sampai banyak amalan-amalan hati (niat) kita tercampuri karena media sosial yang undercontrol ini.
Udah ah ngocehnya, note terakhir; itulah mengapa saya sedang mengurangi posting foto-foto di akun sosial media. padahal kalau mau di update mah banyak. Itulah sebabnya mengapa saya kembali ngeblog, karena lewat blog, kita bebas berekspresi.
Hanya orang-orang yang ingin tahu kabar kita lah yang akan berkunjung. Blog bukan instagram yang semua followers kita bisa ngelike ketika foto nongol di timeline mereka. See?
Semoga kita bertemu di ruang yang nyata ya [Ega]
Semoga kita bertemu di ruang yang nyata ya [Ega]
0 komentar:
Post a Comment