Friday, November 3, 2017

Per-Empu-An

Kekeliruan yang Mengakar
Menjadi perempuan adalah takdir Tuhan yang tidak dapat saya hindari. Selain karena tidak memiliki kuasa untuk merubahnya, saya juga tidak punya alasan untuk menolak ketetapan yang telah digariskan untuk hidup saya. Untuk apa merubah sesuatu yang sudah menjadi fitrah? Tak ada gunanya, tak ada untungnya. Yang saya bisa, mungkin, adalah sedikit demi sedikit merubah pandangan orang lain tentang bagaimana seharusnya perempuan diperlakukan.
-----
Saya berasal dari sebuah desa di Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Timur. Lokasinya sangat jauh dari ibukota. Mungkin karena letak geografis yang jauh itulah, pandangan masyarakat di desa saya tentang perempuan adalah stereotip bahwa perempuan posisinya di “belakang” saja. Tak perlu jauh jauh, ibu saya adalah salah satu yang terbawa stereotip demikian, bahwa perempuan tidaklah perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya tempatnya ada “di dapur”. Stereotip ini tidak hanya diyakini ibu saya, tetapi juga oleh rata-rata keluarga, dan saya yakin bahwa pandangan ini diadopsi oleh sebagian besar masyarakat di desa saya (meskipun belum ada penelitian atau data akurat mengenai hal tersebut).

Keinginan terbesar orang tua setelah saya menjadi sarjana adalah saya pulang kampung, menikah, dan mengabdi di daerah. Tapi, kadang-kadang keinginan orang tua tidak sejalan dengan keinginan anak, begitu juga yang terjadi pada saya. Berbagai alasan saya sampaikan bahwa saya masih ingin sekolah. Sederhana saja, saya ingin menimba ilmu dan pengalaman, dan keinginan itu rasanya tidak akan terpenuhi jika saya pulang kampung. Alhasil, terjadilah perdebatan panjang karena baik saya maupun ibu tetap berdiri pada keinginan masing-masing.  

Masih teringat salah satu kalimat ibu ketika kami berbincang terkait rencana saya melanjutkan sekolah. “Jangan terlalu berambisi, ingat, kita ini perempuan, ujung ujungnya juga kita kerjanya ya di dapur, jangan terlalu mengikuti hawa nafsu karena tidak akan ada habisnya”. Saya selalu terdiam jika mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh ibu saya. Saya hanya bisa berdoa dalam hati agar pilihan saya berbuah manis dan nantinya mendapat support dari keluarga saya. Saya tetap pada pendirian melanjutkan sekolah dan belum akan pulang kampung. Hal yang terus saya lakukan adalah meyakinkan ibu bahwa pilihan yang saya ambil adalah pilihan yang baik. Salah satu cara meyakinkannya adalah dengan bekerja agar tidak membebani orang tua secara ekonomi.

Saya bekerja serabutan sembari mempersiapkan diri pada seleksi beasiswa program pascasarjana dalam negeri dari LPDP Kementerian Keuangan. Saya yakin bahwa ibu meminta saya pulang kampung karena merasa khawatir akan kehidupan kota, atau merasa khawatir tentang apakah saya bisa memenuhi kebutuhan saya atau tidak. Mungkin kekhawatiran beliau juga dipengaruhi oleh pikiran tentang perempuan itu lemah sehingga tidak bisa hidup mandiri, dan lain lain.

Hubungan saya dan ibu sempat terasa jauh saat itu, jarang bersapa lewat telepon, sekali bersua, selalu saja pulang kampung menjadi topik yang tak ada habisnya. Tapi apalah daya, yang bisa saya lakukan adalah membuktikan bahwa pandangan tentang perempuan yang tidak perlu sekolah tinggi tinggi itu adalah sebuah mitos.

Kesabaran memang selalu berbuah manis, saya lulus beasiswa tersebut yang artinya mendekatkan saya pada mimpi untuk sekolah S2. Memang dibutuhkan penantian panjang, sekitar satu tahun, dan selama satu tahun itu juga saya berusaha meyakinkan ibu bahwa pilihan saya akan membuahkan hasil yang indah.

Setelah saya diterima di universitas dan memulai perkuliahan, pandangan ibu saya seketika berubah, berbalik 100%. Beliau kini menjadi orang nomor satu yang mendukung saya untuk semangat menjalani sekolah S2. Meskipun tidak dipungkiri bahwa sebagian keluarga saya (om, tante, atau nenek) masih tetap pada pandangan mereka sebelumnya, bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti ujung-ujungnya di dapur juga, nanti ujung-ujungnya tidak ada laki-laki yang mau melamar.

Ya, begitulah perempuan ditempat saya, diharapkan sekolah cukup sampai sarjana saja, bekerja lalu menikah. Pun ada yang lebih ekstrim lagi, beberapa orang tua bahkan hanya menyekolahkan anak perempuan sampai pada level Sekolah Menengah Atas saja. Setelah lulus, anaknya dinikahkan, atau diminta langsung bekerja.

Fenomena seperti ini mungkin tidak hanya dialami oleh saya, melainkan banyak perempuan desa di pelosok-pelosok Indonesia. Tak bisa menyalahkan siapa siapa karena stereotip tentang perempuan adalah hasil konstruksi budaya yang keliru dan telah mengakar lama pada masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pelosok seperti yang terjadi didaerah saya.           
-------

*Nemu file lama, di laptop lama
[Semoga kita bertemu di ruang nyata-Ega]

Share:

0 komentar:

Post a Comment