Monday, December 14, 2020

Refleksi 30 Tahun di 2020

2020 adalah tahun yang penuh hikmah, bukan? Saya yakin semua sepakat bahwa tahun ini adalah tahun pelajaran yang tak akan terlupakan, termasuk saya yang di tahun ini juga menjejaki usia 30 tahun. Masya Allah, sungguh usia yang tidak lagi muda, sudah lebih dari seperempat abad usia saya. 

Tentunya banyak pelajaran dan pengalaman hidup yang sudah saya lalui. Dalam tulisan ini, saya ingin mengingat mundur perjalanan hidup tersebut. Semoga bisa menapaki cerita saat saya bisa mengingat setiap kejadian, sampai hari ini dimana usia saya sudah 30. Allahu Akbar, tentunya adalah ketetapan Allah hingga saya berada di titik usia 30. Jatah Rizki saya di dunia ini belum habis hingga Allah masih memberi anugerah nafas yang masih berdetak. 

30 tahun lalu, tepatnya ditanggal 8 September 1990, saya lahir sebagai anak kedua ayah dan ibu. Kakak saya saat itu baru berusia empat tahun, ya, dia kelahiran 1986. Sampai sekarang orang-orang di desa saya memanggil saya dengan nama kecil "Inggi". Konon katanya, nama awal saya adalah Inggi Astuti sehingga panggilan Inggi menjadi melekat erat sampai saat ini, padahal, nama lengkap saya sesuai Akta Kelahiran dan identitas lainnya adalah Megafirmawanti Lasinta. Lasinta adalah nama marga ayah. Adapun Megafirmawanti, saya juga gak tahu pasti arti nama itu. Yang jelas, ada harapan dalam nama itu, bahwa Mega Firma Wanti akan menjadi perempuan besar seperti yang difirmankan Tuhan. Tapi nyatanya, Mega bukanlah perempuan besar, melainkan kecil dan mungil. Sering saya berkilah kalau diledek guru.

"Mega...., namamu itu besar, tapi kenapa kamu kecil?". Hehehe, iyalah pak, maksudnya bukan besar fisiknya, tapi kelak saya akan menjadi besar namanya". Begitu kira-kira cara saya menampik bercandaan guru SMA saya. 

Ah, ya, mari lupakan soal filosofi nama itu.yang jelas, saya sering disapa dengan panggilan Inggi oleh tetangga dan teman-teman SD saya. Teman-teman SMP saya memanggil saya Mega. Sementara teman-teman SMA dan kuliah memanggil saya Ega. Jadi kalau ada yang memanggil saya dengan sebutan Inggi, maka hampir dapat dipastikan mereka adalah circle terdekat saya atau mengenal saya dari orang-orang dalam circle terdekat tersebut. 

Saya tidak lahir dirumah sakit, tetapi lahir dengan bantuan Biang (begitu kami menyebutnya). Tanggal 8 ditahun itu tepat pada hari Sabtu, begitu kata Ibu saya. Hari demi hari saya lalui sebagai anak kedua. Saya masih ingat rumah kami zaman dulu, berdinding papan dan berlantai tanah pada bagian dapurnya. Saya sering ikut kemanapun ibu bepergian dengan sepeda kumbangnya. Untuk menghindari kaki saya tergilas roda sepeda, selalu ada kain yang dijadikan pengikat kaki saya disalah satu batang sepeda itu. 

Dulu saya sering bisulan karena senang makan kue kering dan kacang, wkwk. Sering juga minum es sehingga waktu kecil kadang saya dibawa ke perawat untuk berobat dan disuntik jika flu dan batuk. Namun, kata perawat kala itu, saya termasuk anak pintar karena tidak menangis saat disuntik. haha. Penyakit yang sering saya derita adalah batuk dan pilek kemudian demam. Kenapa? Karena salah satu kegemaran saya saat itu adalah main hujan-hujanan. 

Seingat saya, saat kecil saya sedikit tomboi, sering rambut saya dipotong seperti potongan cowok. Mungkin sifat tomboi ini "sedikit" terbawa sampai sekarang, meskipun tidak tomboi-tomboi amat sih. Kala siang, saya dan kakak sering diawasi orang tua, karena sering kali kami keluar diam-diam, berjinjit-jinjit ke arah pintu, lalu kabur merasa merdeka karena tidak ketahuan. Haha. Adakalanya kami berhasil kabur, namun ada kalanya juga kami gagal karena bunyi pintu yang keras. Kalau gagal, maka tidur siang menjadi sebuah kewajiban. 

Sekolah TK saya sangat dekat dari rumah. Hanya dengan berjalan kaki, sampailah saya di TK tersebut. Kami bermain banyak permainan disana, namun yang selalu jadi favorit adalah prosotan alias lucur-lucur. Saya menduduki bangku TK selama satu tahun, lalu kemudian lanjut ke SD yang juga sangat dekat, persis didepan rumah kami. 

Semasa SD saya selalu mendapat rangking 1 dikelas. Sering juga menjadi ketua kelas. Saat upacara, saya sering menjadi pembaca UU atau pembawa acara. Pengibar bendera? Tentu tidak karena tinggi saya kurang memadai ahhaha. Saya sering juga menjadi peserta vocal group, ketua tim senam, penyanyi solo, peserta paduan suara, pembaca puisi, ketua tari, atlit tenis meja, bulutangkis, sampai menjadi perwakilan sekolah dalam lomba bidang studi. Ya, semuanya berkesan, karena sering saya mengharumkan sekolah pada cabang-cabang seni dan olahraga yang saya ikuti itu.  

Untuk prestasi kelas, pernah sekali saya turun rangking ke juara dua atau empat (saya lupa pastinya), itu disebabkan karena saya pernah tidak sekolah selama kurang lebih 26 hari, ya, keluarga kami pernah bepergian lintas provinsi kala itu dan semua anggota keluarga turut serta dalam perjalanan tersebut. 

Ada kejadian tragis saat saya SD, tepatnya di tahun 2000, terjadilah gempa tektonik yang meratakan sekolah kami dengan tanah. Bangunan sekolah retak hancur, rumah-rumah roboh, air laut surut, dan sarana lainnya juga tak bisa digunakan. Alhasil, kami pindah tinggal di kompleks pengungsian, selama kurang lebih tiga bulan kami tidak sekolah dan hidup di tenda-tenda dengan lantai papan dan atap terpal. Saya ingat sekali, dimasa ini, kami menjadi penerima bantuan berupa sarung kotak-kotak berwarna putih, panci, beberapa kardus supermie, dan satu lagi, kelambu berwarna biru. Sebagai anak-anak kala itu, hidup ditenda pengungsian adalah hal yang menyenangkan (itu sih yang saya rasakan, hehe).

Tidak hanya berprestasi disekolah, saya juga aktif mengikuti TPA. Sering saya mewakili desa dan kecamatan dalam ajang MTQ. Prestasi tertinggi saya dibidang ini adalah menjadi juara dua cabang Tartil Quran tingkat kanak-kanak dalam MTQ Provinsi Sulawesi Tengah. Sayangnya, belum pernah saya mencicipi ajang MTQ ditingkat nasional.

Adik saya lahir di tahun 1999, saat itu saya sudah duduk di bangku kelas tiga SD. Sejak adik saya lahir itulah kemandirian terbentuk dalam diri saya. Seingat saya, sejak memiliki adik, saya mulai menyetrika seragam sekolah sendiri. Pekerjaan lain yang dapat saya lakukan sendiripun saya lakukan sendiri, kadang-kadang juga saya mencuci pakaian saya sendiri. 

Sepanjang ingatan saya, itulah beberapa cerita saat saya berusia SD. Oh ya, karena Ayah saya seorang guru SMP, sangat sering saya bermain ke sekolah beliau. Ikut beliau saat sedang mengajar dikelas, lalu pulang bersama saat jam sekolah selesai, haha, sepertinya itu adalah kebahagiaan tersendiri saat itu. Karena banyak kakak SMP yang kadang juga ngajak saya bermain. Ada kejadian paling memorable soal ini. Saat itu saya sedang ikut ke kelas ayah. Beliau bertanya kepada murid-muridnya waktu itu, 

"Apa nama.lain dari paragraf"?, Semua murid diam membisu kala itu. Dengan PDnya ayah saya bertanya ke saya, apa nama lain atau sinonim dari paragraf? Dengan santainya saya jawablah "alinea". Sontak seisi ruangan berdecak kagum, hahah, mungkin yang ada dalam pikiran mereka "masa.kita kalah sama anak SD?". Ya, itu kejadian kecil namun sangat memorable bagi saya. 

Cerita-cerita diatas adalah hal-hal yang menyenangkan untuk diceritakan kembali. Adapun kisah menyedihkan? Tentu saja saya juga mengalami. Tapi apa ia perlu saya ceritakan disini? Saya pikir gak perlu ya, biarlah kisah sedih itu jadi privasi saya. Okke? Sampai keketemu dalam kisah-kisah SMP saya.
Share:
Continue Reading →

Ceritaku Menjalani Tes SWAB

Ini ceritaku tentang Covid 19, ada rasa deg-degan dan khawatir yang kurasakan saat itu.

Tepatnya tanggal 10 November 2020 lalu, saya dan adik melakukan tes Rapid untuk keperluan bepergian. Kami berangkat dari rumah menuju Ibu Kota Kabupaten untuk melaksanakan Tes Rapid disalah satu klinik yang ada di Salakan. Fisik kami baik-baik saja waktu itu dan secara emosi juga semuanya aman terkendali. Kurang lebih pukul 11.30 kami tiba di klinik dan dilayani dengan baik oleh petugas yang ada saat itu. Sampel darah kami diambil dan kami diminta menunggu kurang lebih 15 menit. Kami santai saja karena memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sampai akhirnya petugas klinik memanggil saya dan meminta kembali KTP yang sudah didatanya sejak awal kami mendaftar untuk Tes Rapid. 

Saya mulai bertanya dalam hati, "Ada apa ya? Kan tadi KTP saya sudah di data?". Ternyata tidak lebih dari lima menit, pertugas tersebut menemui kami kembali dan menyampaikan hasil Tes dengan berkata "Hasilnya Reaktif". What? Kata saya kaget, yang benar Pak? Ternyata memang benar hasil Rapid saya reaktif dan punya adik saya non reaktif.

Kami berbincang sebentar dengan petugas klinik, mereka sudah melaporkan data saya kepada kepala puskesmas di Salakan. "Nanti akan ada yang menghubungi untuk tes lebih lanjut", begitu arahan dari petugas klinik saat itu. Alhasil, kami meninggalkan klinik dengan membawa dua surat keterangan Rapid, punya saya reaktif dan punya adik saya nonreaktif. 

Kami bergegas keluar klinik dan ingin mengisi perut yang mulai keroncongan. Namun sebelumnya kami singgah di masjid terdekat untuk melaksanakan sholat Zuhur. Setelah Sholat, melajulah kami ke rumah makan yang kami inginkan. Belumlah sampai di rumah makan yang kami tuju, hp saya berdering, ada telepon masuk dari nomor yang tidak terdaftar. 

Saya: Halo
Kapus: Assalamu'alaikum
Saya: Wa'alaikumsalam
Kapus: Ini dengan Mega ya?
Saya: Iya, ini dengan siapa?
Kapus: Ini dengan Kapus Salakan, tadi ikut tes rapid dan hasilnya reaktif ya? 
Saya: Iya Bu
Kapus: Posisi dimana sekarang?
Saya: Sedang dijalan menuju rumah makan Bu
Kapus: Oh iya, nanti setelah makan boleh ke RS untuk tes lanjutan? Langsung ke ruang isolasi ya?
Saya: Oh iya, Okke Bu

Kami melanjutkan perjalanan ke rumah makan. Sembari menenangkan hati, saya makan sesantai mungkin agar rasa deg-degan saya hilang. Saya membeli sekaleng bearbrand, yg katanya baik untuk imun, hehe. 

Kira-kira pukul satu kami sudah sampai di RSUD dan segera menuju ruang isolasi. Pikir saya "jangan sampai saya langsung dikarantina deh". Ternyata tidak, hehe, bukan hanya saya yang akan mengikuti tes lanjutan, tetapi kira-kira ada belasan orang lainnya yang juga sedang menunggu. 

Hasil bincang-bincang dengan beberapa orang di RSUD, ternyata tes lanjutan yang dimaksud adalah tes SWAB. Wadidaw, semoga hasil SWAB saya negatif, itulah yang menjadi harapan terbesar saya saat itu. Dari perbincangan tersebut juga saya mendapat informasi berbagai gejala yang dialami para peserta yang akan tes SWAB hari itu. Mulai dari yang biasa saja seperti saya, sampai yang mengalami gangguan penciuman, sesak nafas, dan juga flu dan batuk. 

Kurang lebih dua jam kami menunggu, sampai akhirnya tibalah jadwal SWAB. Para dokter dan petugas medis berpakaian APD lengkap, setelah memberikan sedikit arahan pada kami, SWAB pun dimulai. Satu per satu peserta dipanggil dan tibalah pada giliran saya. Akkkk, ini pertama kalinya, saya pikir akan sakit, ternyata tidak, rasanya hanya sedikit geli ketika spatula atau apalah itu namanya dimasukan ke lubang hidung kiri dan kanan dan juga ke pangkal lidah. Tidak lebih dari 15 menit proses SWAB tersebut. Yang lama adalah antrinya dan penantian hasil SWAB yang katanya baru akan diketahui kurang lebih 14 hari. Ouch, lama nian ya "namun kami harus tetap sabar dan banyak memaklumi, karena sampel tes kami tidak diperiksa di RSUD itu, tetapi harus dibawa melintasi laut dan udara dulu untuk di cek di LAB terdekat". Kalau saya tidak salah, sampel tersebut harus dibawa ke Ibu Kota Provinsi dulu (Kota Palu). 

Well, SWAB hari itu selesai dan saya diminta kembali untuk SWAB kedua pada tanggal 12, dua hari setelah SWAB yang pertama.

Saya sebenarnya rada berat untuk mengikuti SWAB kedua itu, jaraknya itu loh yang saya gak sanggup. Dari rumah, saya harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam,an. Tapi apalah daya, saya harus tetap mengikuti prosedur. Finnaly ditanggal 12, saya kembali mengikuti SWAB dengan proses yang sama saat SWAB pertama. Dan sejak tanggal 12 itulah saya mulai menghitung hari, berharap hasil SWAB kami segera dirilis dan hasilnya negatif.

Hari-hari penantian itu saya jalani dirumah aja. Dan memang saya lebih sering dirumah dengan ataupun tanpa hasil rapid yang reaktif. Aktivitas saya kala menanti lebih ke beberes rumah, sortir pakaian, ba sube alias menyiangi rumput di halaman, dan aktivitas lainnya yang memungkinkan. 

Dua Minggu itu terasa sangat lama, karena kami punya rencana bepergian untuk sebuah urusan penting. Artinya, urusan itu juga harus tertunda karena kami perlu menunggu hasil SWAB saya. Dua Minggu berlalu, dan tibalah hari saat saya menelpon ketua gugus tugas covid kabupaten Banggai Kepulauan.

Saya: Halo, Assalamu'alaikum Pak

Pak D: Wa'alaikumsalam

Saya: Pak, saya Mega dari totikum, yang ikut SWAB tanggal 10 dan 12. Gimana pak hasilnya?

Pak D: Oh iya, sebenarnya hasilnya sudah keluar kemarin, tapi saya coba ngontak nomor ibu malah gak aktif, efek sinyal totikum kayaknya mati ya?

Saya: Heheh, itulah pak, sinyal disini memang gak stabil. 

Pak D: Jadi hasilnya sudah keluar, tapi jangan panik ya, tetap positif thingking. 

Saya: Baik Pak (ini udah rada tegang Krn Bapaknya ngomong serius banget)

Pak D: Hasilnya....., Non Reaktif.

Saya: Alhamdulilah, aduh Pak, saya sudah tegang ini, di loud speaker juga ada keluarga dirumah ikutan ba dengar

Pak D: Jadi sudah aman mau bepergian, nanti minta surat bebas covidnya di Puskesmas totikum, silahkan hubungi A, B, C, atau D. 

Saya: Alhamdulillah, siap pak, trimakasih banyak. 

Penantian pun berakhir lega, kami segera mengurus kembali keperluan bepergian untuk sebuah misi penting kehidupan. 

Pesan saya untukmu
*Jangan panik kalau hasil rapid reaktif karena itu tidak berarti bahwa anda positif Covid.
*Ikuti saja prosedur dari petugas medis meskipun ada sedikit drama-drama, anggap itu sebagai bumbu hidup saja.
*Tetap jaga kesehatan, kalau tidak ada keperluan penting, sebaiknya dirumah saja.
*Gunakan masker, rajin cuci tangan, jaga jarak.
*Jaga imunitas dengan konsumsi makanan bergizi.
*Jaga emosi tetap stabil.
*Jangan lupa always happy.
*Covid pasti ada hikmahnya.
Share:
Continue Reading →