Well, sejujurnya bukanlah tentang kamu sepenuhnya yang kutulis. Tapi tentang rindu yang kurasa pada ibuku, dan tentang kehilangan-kehilangan yang dialami orang-orang sekitarku akhir-akhir ini. Tentang rindu dan kehilangan, bukankah dua hal itu sudah kamu alami dalam usia yang sangat dini? Mikar, anggap saja ini adalah surat untukmu yang tidak dapat kusampaikan langsung agar tidak disebut “dramatis”. Tapi sejujurnya inilah bahasa hatiku. Tak mau kusimpan sendiri. Biarlah bait-bait ini mewakilkan dalamnya perenungan untuk dapat memahami bagaimana rindu dan kehilangan yang telah menemanimu sejak masih sangat belia.
Sulit bagiku menyelami bagaimana rasa rindu yang kamu rasakan. Salah satu rindu terberatku adalah ketika beberapa tahun tidak dapat bersentuh tangan dengan ibuku. Rindu terberatku adalah ketika hanya dapat bersua dengan orang tuaku lewat suara dan video. Lalu bagaimana dengan rindumu? Aku tau rindumu lebih berat dari rinduku sebab yang kau rindu kini telah berbeda dimensi. Akupun tahu bahwa kehilanganmu adalah kehilangan yang berat, sebab yang hilang adalah sosok dimana dalam dirimu terdapat darah dan dagingnya. Ah ya. Tapi bukanlah hidup jika tak ada masanya bersedih.
Kamu telah terlatih kehilangan sejak kecil. Tentu itu adalah latihan untuk kehilangan-kehilangan lain yang akan dihadapi seluruh manusia dimuka bumi ini. Bukankah setiap kehilangan adalah sebuah nasihat? Lalu tentang rindu? Sulit untuk dinalar bagaimana seseorang harus mampu menjawab rindu pada orang yang telah berbeda dimensi. Tapi sebagai hamba yang punya Iman. Aku yakin kamu pun telah belajar dalam setiap episode rindu yang kau rasa. Satu kata yang dapat kuucap, kamu kuat.
Sudah malam, waktunya menuju peraduan.
Kota Hujan, 2 November 2019
20.59 WIB
0 komentar:
Post a Comment