Jalan sunyi, kadang-kadang disalah artikan sebagai jalan para sufi semata. Padahal banyak yang bukan sufi pun pernah memilih jalan sunyi. Banyak alasan mengapa jalan sunyi menjadi pilihan, bisa jadi karena jalan yang selama ini ia ambil adalah jalan yang penuh dengan hiruk pikuk dunia, terlalu ramai dengan omong kosong. Hingga ada energi yang habis diserap oleh orang lain, sementara ia tetap ditempat, dan bahkan ikut tergerogoti dengan sesuatu yang kotor.
Pernah suatu ketika, seorang atasan meminta nasihat dari anak ingusan seperti saya yang baru lulus sarjana. Beliau adalah guru kehidupan, bekerja dengannya selama beberapa bulan menjadi pelajaran berharga bagi saya.
“Apa pendapatmu jika ada pejabat memilih mengundurkan diri? Ia sebenarnya tidak mau mengundurkan diri, tetapi situasi politik kotor yang sangat tidak sehat membuatnya memilih jalan tersebut”. Sontak sayapun menjawab “Sulit sih Pa, biasanya atasan-atasan jenis ini adalah atasan yang niat awalnya adalah memperbaiki keadaan, maka bertahanlah jika memang mampu, tapi pergilah jika ternyata ia menjadi ikut-ikutan kotor”. Tidak lama setelah percakapan itu terjadi, ternyata pejabat tersebut akhirnya mengundurkan diri. Belakangan yang saya ketahui, beliau selanjutnya banyak berkarya, menulis buku, mengerjakan proyek-proyek pembangunan untuk Indonesia, dan tentunya dapat fokus untuk membahagiakan keluarga dengan berplesir keliling Indonesia dan luar negeri. Jalan sunyi rupanya membuahkan keberkahan yang lebih luas.
Well, apa hubungannya tulisan ini dengan cerita diatas? Ya, kita kadang-kadang berada pada sebuah kondisi dimana tidak ingin mengerjakan apa-apa. Bukan karena kita tidak bisa, tetapi karena ada pilihan lain yang lebih bernilai. Lebih memberi manfaat positif untuk diri kita sendiri, bukan hanya sekedar manfaat untuk orang lain. Kata orang, menjadi lilin yang menerangi sekitar meskipun ia terbakar adalah hal yang luar biasa, tapi konsep bermanfaat bagi orang lain bagi saya bukan berarti kita ikut-ikutan terbakar sementara orang-orang disekitar kita menikmati cahayanya. Maaf jika saya salah memahami konsep “bermanfaat bagi orang lain”. Tapi buat saya, seharusnya kita bisa sama-sama bersinar ditempatnya masing-masing. Mungkin yang lebih baik kita yakini adalah konsep “menjadi terbaik bersama-sama, bukan semata-mata menjadi yang terbaik”.
Pejabat yang saya ceritakan diatas bukan orang sembarangan, beliau adalah mantan pejabat pada jajaran pemerintahan pusat RI. Tapi toh memilih meninggalkan jabatannya juga karena tidak mau menjadi orang yang sakit sementara tikus-tikus disekitarnya menjadi sehat dan terlihat cemerlang.
Ada satu kalimat yang sampai sekarang masih melekat dalam bisik hati saya. “Ga, ibaratkan dirimu seperti segelas air yang bening. Ia akan tetap bening jika yang diteteskan padanya adalah air bening. Tetapi air yang bening akan keruh juga jika ditetesi tinta hitam. Memang tidak seketika, tapi ia akan mengotori air bening itu secara perlahan, hingga yang tersisa dalam gelas itu bukan lagi air yang bening, melainkan air yang keruh. Apakah air keruh masih bisa memberi manfaat kepada orang-orang sekitar?, pikirkan dan renungi ya, dunia didepanmu akan lebih keras, banyak penjilat yang didepanmu baik, tatapi menusukmu dari belakang.
Dan, memang dunia didepan saya saat ini penuh dengan tipu tipu. Terlalu banyak intrik dan narsism. Orang-orang berlomba untuk menjadi siapa yang lebih baik. Memperlihatkan kekayaan, harta, jabatan dan lain-lain. Mengapa ya? kita tidak berkeyakinan untuk menjadi baik bersama. Mengapa ya kita terlalu sibuk dengan dunia. Padahal dunia hanya ujian saja. Jangan-jangan kita jadi menjadi tidak ber-Tuhan karena tidak pernah menyepi. Padahal, jalan sunyi itu perlu, agar kita bisa lebih bijak mendengar suara hati, bukan suara orang-orang diskeitar kita. Ya, jalan sunyi, jalan sufi, sama saja dengan jeda. Kita butuh jalan sunyi untuk menikmati jeda. Meskipun dalam waktu yang hanya sebentar. Tetap semangat ya, salam semangat dan salam sayang. Semoga kita bertemu di ruang nyata [Ega].
0 komentar:
Post a Comment