Tentang perempuan, adalah bahasan yang menurut saya masih seksi. Selain karena tubuh perempuan itu memang seksi, isu ini masih menimbulkan perdebatan alias masih kontroversial. Ada yang katanya tidak setuju dengan isu apapun yang berbau-bau feminis, ada juga yang mati-matian terus-terusan berbicara tentang perempuan dengan alasan adanya penindasan dari pihak yang mereka sebut dominan.
Saya tidak akan berbicara pada posisi pro ataupun kontra, saya hanya ingin sedikit berbagi cuplikasi tulisan dalam buku Coretan Pena Sang Pemimpi bersama kawan-kawan saya di LPDP Kementerian Keuangan RI. Ya, saya menulis tentang perempuan dari desa. Karena saya adalah perempuan, dan karena saya berasal dari desa.
Ini sedikit cuplikan tulisan saya dalam buku itu
Bukan tentang seberapa jauh kaki kita melangkah, bukan soal dengan siapa kita berjalan, bukan pula tentang seberapa banyak pulau yang kita singgahi. Perjalanan adalah bagaimana kita berkembang melalui proses itu dari hari ke hari. Tumbuh, mendewasa, meski sebagai Perempuan (dari) Desa.
Kisah setiap orang akan selalu berbeda beda bukan? Tergantung dari mana ia terlahir, siapa orang tuanya, bagaimana lingkungannya, dan segala sesuatu yang membentuk dirinya. Saya termasuk orang yang percaya bahwa perjalanan hidup, segalanya adalah takdir Allah.
Terlahir dari keluarga sederhana dengan satu kakak dan dua adik di sebuah desa yang jauh dari ideal layaknya hiruk pikuk kota membuat saya bertanya, “kawan, kamu yakin ingin tahu lebih ditel tentang desa saya?”. Naiklah kapal udara dari bandara tertentu, jika kawan berangkat dari Yogyakarta, biasanya akan mampir ke makassar terlebih dahulu. Pun begitu jika berangkat dari Surabaya, atau Jakarta. Itu belum setengah perjalanan. Kawan harus menaiki pesawat dan turun di Bandara Kabupaten Banggai (Luwuk), bandara yang paling dekat dengan desa saya. Setelah itu, masihlah perlu menyebrangi lautan sekitar dua jam, lalu berkendara darat selama kurang lebih dua jam pula, dengan begitu kawan akan sampai didepan rumah saya, Desa Sambiut, Kecamatan Totikum, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. “Luar biasa. Itu adalah perjalanan yang berat”, kata beberapa orang yang saya kenal. Tapi bagi saya, itulah perjalanan, dan lewat perjalanan itulah kita belajar. Ada yang ingin berkunjung ke desa saya? tentu saya akan sangat bahagia. Sebuah Desa yang belum bisa menikmati listrik selama 24 jam, dengan koneksi internet yang nyaris tidak ada, termasuk dengan susahnya mendapatkan sinyal selular.
Tulisan selanjutnya bisa kawan-kawan baca dalam buku aslinya ya....