Friday, March 30, 2018

Menikmati Episode Hidup


Lama sekali jari jemari tidak menari bersama imaji. Ada apa gerangan? Ah ya, tidak ada apa-apa. Hanya sedang menikmati episode-episode kehidupan yang terus bergulir, dalam diam.

Tentang episode hidup, kita harusnya belajar pada mereka-mereka yang lebih dulu merasakan asam manis dan pahit perih kehidupan. Pilih satu orang, lalu ambil pelajaran darinya. Pilih lagi orang lain, lalu belajar darinya. Pun, termasuk belajar dari episode kehidupan kita sendiri. Begitulah seterusnya. Bukankah ayat pertama yang Allah turunkan adalah membaca?
bukan hanya yang tersurat, tapi juga yang tersirat.   

Saya memilih sosok Ibu sebagai sekolah pertama. Saya pikir semua orang akan mengatakan hal yang sama, bahwa Ibu adalah madrasah Pertama. Dari Ibu saya belajar bagaimana tersenyum, bagaimana menangis, merasa sedih, memberikan tanda ketika lapar, memberikan tanda kepanasan karena keringat di badan, memberi tanda bahwa sebenarnya yang saya butuhkan bukanlah makanan melainkan pelukan. Saya juga mulai belajar bagaimana memanggil mama, papa, lalu menyebut satu persatu nama anggota keluarga kami. Hingga sampai saat ini saya tidak mengalami kesulitan dalam berbicara. Besar sekali peran Ibu dalam kemampuan bersosialisasi saya saat ini.  

Ibu juga yang mengajarkan bagaimana agar menghormati orang tua. Bagaimana mendoakan mereka dalam setiap solat. Ibu mengajarkan mengaji. Ibu mengajarkan membaca. Ibu juga yang menemani saya mengerjakan PR hingga larut malam. Ibu yang mengajarkan saya untuk berprestasi. Ibu yang mengajarkan saya bagaimana caranya belajar, mengatur waktu, membuat jadwal harian. Lewat ibulah saya bisa merasakan bagaimana dibelai itu menenangkan, dipeluk itu membahagiakan, dipercayai itu menguatkan.

Saya juga belajar hal-hal sederhana seperti mengikat tali sepatu, meletakkan sepatu pada tempatnya setelah pulang sekolah, mencuci baju, menyetrika, menyisir rambut, menanak nasi, memasak air, memasak sayur tumis, membuatkan ayah teh hangat sepulangnya dari kebun belakang rumah.

Ya, terlalu banyak hal yang saya pelajari bersama Ibu. Setiap orang akan berbeda memaknainya. Saya memaknai perihal-perihal sederhana itu sebagai tugas berat seorang Ibu. Karena lewat hal-hal sederhana itulah pencapaian yang lebih tinggi dapat saya raih. Dan, Ibu saya adalah perempuan yang telah berhasil mengajarkan banyak hal. Dari yang sangat sederhana dan juga yang sangat rumit. Tentang apapun yang berkaitan dengan kehidupan.

Mari kita sebut setiap yang terjadi dalam hidup ini sebagai sebuah episode. Dan, Ibu saya rupanya adalah orang yang berani memilih episodenya sendiri. Waktu itu beliau belum lama menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagai perempuan yang lahir dari keluarga pas-pasan, tentunya Ibu saya tidak memiliki banyak biaya untuk melanjutkan kuliah seperti orang kebanyakan. Maka bekerja adalah pilihan yang tepat untuknya saat itu. Bekerja, berdagang, membantu keluarga, adalah hal yang sangat biasa bagi Ibu saya. Tak heran, Ibu saya adalah yatim sejak kecil, kakek saya meninggal saat Ibu masih di usia SD. Sebagai anak yang paling manja, kehilangan ayah saat umur beliau masih sangat kecil tentu adalah hal yang ridak mudah. Kondisi nenek saya saat itupun sangat pas-pasan untuk membesarkan 8 saudara Ibu. Maka, mandiri adalah tuntan untuk semua anak-anak nenek, termasuk Ibu saya waktu itu. Kondisi yang serba terbatas pada akhirnya membentuk Ibu saya tumbuh menjadi anak yang mandiri. 

Suatu ketika, muncullah keinginan Ibu saya untuk melanjutkan kuliah. Mungkin saat itu telah ada sedikit biaya yang cukup untuk melanjutkan sekolah. Namun, disaat yang bersamaan Ayah saya datang menemui nenek dan melamar Ibu. Merekapun menikah. Ibu saya waktu itu masih tetap kekeuh ingin meneruskan kuliah. Namun, ayah saya menawarkan pilihan untuk tetap fokus saja bekerja di rumah dan mendidik anak-anak, termasuk saya tentunya.

Ya, disinilah satu episode dipilih. Saat ada mimpi yang dikorbankan untuk kepentingan orang lain. Saat keinginan diri sendiri harus dikalahkan atas nama tugas mulia mendidik anak-anak. Bukankah itu adalah keputusan yang berani? Bagi saya itu berat, bahkan Dilanpun tak akan kuat. Tapi, keberanian Ibu saya mengajarkan beribu makna. Bahwa tidak semua keinginan kita harus terpenuhi. Tidak semua mimpi kita harus tercapai. Apapun yang terjadi, kunci yang paling utama adalah adanya rasa ikhlas dalam menjalani episode-episode kehidupan itu. Tanpa pamrih, tanpa mengeluh. Karena untuk urusan dunia, sering-seringlah melihat kebawah. Masih banyak anak yang tidak merasakan kebahagiaan seperti yang (kita) rasakan saat ini.

Pesan Ibu saya; Tidak perlu berambisi dengan dunia, karena semakin dikejar akan semakin melelahkan. Jangan memikirkan hidup orang lain, hiduplah menjadi diri sendiri dan berbuat baiklah. Jika ada orang yang jahat, biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah. Ikhlaslah dalam menjalani episode kehidupan yang ditentukan Allah. Selain ikhlas, tanamkanlah keyakinan dalam setiap langkah kebaikan yang hendak dan sedang (kamu) jalani.

Ah ya, bagi saya sosok Ibu dan pelajaran-pelajaran darinya adalah hal yang sangat bermakna. Meski beliau tidak pernah mencicipi bangku kuliah. Tapi episode kehidupan, asam manis, dan pahit perih kehidupannya menurut saya adalah pelajaran berharga yang tidak semua orang memilikinya.

Oh Ya, satu lagi dari Ibu saya
"Kamu akan benar-benar bisa merasakan betapa cintanya Ibumu ke anaknya ketika kamu berada pada posisi yang sama, menjadi Ibu bagi anak-anakmu"

[Semoga kita bertemu di ruang nyata ~ Ega] 
Share:
Continue Reading →